Mohon tunggu...
Abd Rahmat
Abd Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Tinggal di Kab. Jeneponto, Sulawesi Selatan. Pernah Belajar di UIN Alauddin Makassar.

Di bawah kolong langit, semua setara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maghrib di Masjid Raya

16 Juni 2021   19:57 Diperbarui: 16 Juni 2021   20:10 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: nusagates.com

Saya selalu senang mengunjungi Masjid Raya Makassar, untuk sholat magrib dan mendengar pengajian disela-sela sholat isya. Dari jalan satangnga ke Masjid Raya tidak terlalu jauh. Menempuh dengan jalan kaki bukan pilihan yang berat. Walaupun hanya sesekali tetapi untuk menenangkan pikiran tempat ini selalu menjadi alasan untuk saya kunjungi kendati sendal atau sepatu selalu kena pajak penjagaan. Bukan soal nominal atau seberapa besar kita harus bayar untuk jasa penitipan. Tetapi menkavling tempat yang harusnya bisa dipakai untuk umum dan menjadikannya lahan bisnis untuk membuat jasa penitipan sendal atau sepatu lalu meminta atau mewajibkan kita membayar, tentu membuat orang seperti saya atau kebanyakan jamaah resah dengan aktivitas semacam itu.

Sore di kota besar apalagi di jalan kecil sangat ramai dengan aktivitas. Saya berjalan lewat jalan laeya dan sebelum sampai di andalas saya berhenti dan melihat disisi kanan jalan tukang dan buruh bangunan masih bekerja walau waktu menunjukkan pukul 17.00 wit lewat dimana seharusnya pekerja sudah berhenti atau sudah masuk waktu istirahat. Yang menarik perhatian ada dua orang buruh perempuan di sampingnya ikut anak kecil. Yang satu menyekop pasir ke gerobak yang lainnya memegang gerobak yang jika penuh  dibawa masuk ke tengah bangunan yang setengah jadi itu. Beberapa hari lalu saya melihat banyak mitra grab atau gojek perempuan yang lalu lalang. Seolah dua kenyataan di atas menampar kita betapa kerasnya kehidupan.

Ada yang bekerja keras siang malam dengan upah kecil. Ada yang kerjanya santai tapi dibayar  yang nominalnya kelewatan. Saya ingat sebuah utas di twitter dari jurnalis kumparan Dea Anugrah yang salah satu bagian alineanya : "Di dunia fana ini ada yang digaji Rp 800 setelah kerja siang malam sebulan penuh dan juga pekerjaan yang dibayar Rp 80 juta untuk pekerjaan sepeleh macam bikin IG post dalam satu-dua jam. Kalau menurutmu dunia gini  gak rusak, berarti nalarmu yang rusak". Saya hanya mengutip satu bagian dari utas mas Dea Anugrah jika lanjut membaca utasnya kita dipaksa berfikir tentang ketimpangan yang luar biasa. Itu juga sempat menjadi polemik di twitter.

Kenyataan lain yang mesti kita lihat bahwa peluang kerja itu sangat kecil jika tak punya keahlian di tengah ketatnya persaingan dunia kerja ijasah saja tak cukup buat meyakinkan perusahaan apalagi di tengah pandemi seperti ini, kecuali jika punya kenalan atau koneksi yang bekerja dan punya posisi strategis di perusahaan dan bisa memanfaatkannya menjadi peluang. Saya pikir nepotisme telah mengakar kuat dan menjadi bagian perusak dari kompetisi dunia kerja. Beberapa kerabat dan teman yang lulusan sarjana sampai saat ini masih kesulitan cari kerja. Beberapa kali saya diminta untuk membatu tapi belum bisa dan belum punya akses.

Bekerja pada perusahaan tentu punya standar dan kualifikasi tertentu yang mesti cocok bagi para pencari kerja. Saya sering mendengarkan orang-orang membuat perbandingan antara bekerja pada perusahaan BUMN atau swasta dan instansi pemerintah atau lembaga negara. Betapa jauhnya dari segi kinerja. Bekerja pada perusahaan sangat dinamis dan lebih kompetitif, pada instansi pemerintah atau lembaga negara sebaliknya. soal benar atau tidaknya itu saya kurang tau saya hanya banyak mendengar orang bercerita. Mungkin ini yang menjadi alasan masih banyak yang kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Pada pilpres lalu saya tidak dibarisan siapa-siapa, saya memilih golput. Kalo ikut dibarisan atau jadi relawan jokowi  dan bekerja keras pada waktu kampanye barangkali bisa dapat jatah komisaris independen pada perusahaan plat merah di bawa kementerian BUMN sebagaimana dibagi-bagi oleh pak Erik Tohir selaku menteri BUMN pada relawan Jokowi yang bekerja keras pada pilpres lalu. Tapi kenyataannya saya bukan siapa-siapa.

Saya memalingkan pandang pada dua orang buruh perempuan di depan saya yang sibuk bekerja itu dan lanjut jalan menuju masjid. Seperti biasa saya menaruh sandal dan diberi nomor oleh bagian penitipan, tentu hal menjengkelkan saat mengunjungi masjid besar ini. Mengambil air wudhu lalu naik ke lantai dua. Ikut dibarisan shap kedua sholat berjamaah dan lanjut mengikuti pengajian tasawuf. Di samping saya seorang bapak tua dengan tenang menyimak, di depan seorang bule dekat mimbar terlihat serius mendengar pengajian. Mendengar pengajian dan pesan-pesan baik tentu membuat hati dan pikiran ikut tenang.

Selalu ada pelajaran hidup yang bisa kita serap dari peristiwa disekitar kita. Bahwa hidup bukan melulu soal kompetisi. Ketenangan dalam menjalani kehidupan terletak dari cara kita mengucap syukur hari ini. Apa yang kita usahakan hari ini akan kita peroleh di waktu yan tepat. Semoga hal-hal baik selalu menghampiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun