Mohon tunggu...
Abdi Husairi Nasution
Abdi Husairi Nasution Mohon Tunggu... Editor - Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Menulis membuat saya terus belajar tentang segala hal dan melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Simbol Kerbau Tak (Selalu) Melecehkan

11 September 2011   12:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:03 4877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kerbau bukanlah hewan tak berguna. Di sawah, kerbau digunakan para petani untuk membantu menggarap dan membajak sawah. Selain itu, kerbau juga digunakan sebagai alat transportasi bagi rakyat, khususnya di pedesaan. Lain lagi dengan masyarakat Toraja. Bagi masyarakat Toraja, kerbau merupakan simbol status sosial. Sebagai simbol status sosial, kerbau pun dihargai dengan sangat mahal, terutama kerbau belang atau Bonga yang warnanya setengah albino. Kerbau jenis ini harganya bisa mencapai 100 juta rupiah per ekor. Simbol status ini akan makin terlihat dalam upacara kematian "Rambu Solo" di masyarakat Toraja tersebut. Dalam upacara "Rambu Solo", anggota masyarakat yang dapat mempersembahkan banyak kerbau, nama keluarganya akan terangkat tinggi sekali, sangat dihargai, dan disegani. Bagi orang yang berduit, mereka bisa membeli lebih dari seratus ekor kerbau. Kalau harga kerbau sekitar 20 juta rupiah maka duit yang harus mereka keluarkan bisa mencapai 2 milyar rupiah. Betapa kayanya orang tersebut. Makna kerbau dalam relief Candi Borobudur dan Candi Sojiwan lebih mulia lagi. Pada masa lalu itu, kerbau disimbolkan sebagai tokoh pengajaran moral dan budi pekerti dalam masyarakat Jawa. Dalam cerita rakyat pun, kerbau selalu diceritakan sebagai hewan yang setia dengan petani, rajin, suka bekerja keras, santun, tidak suka marah, dan selalu hormat terhadap hewan lainnya. Bahkan Raffles dalam bukunya "The History of Java" menyebutkan bahwa para pangeran dan bangsawan di tanah Sunda mendapat gelar yang mengacu pada sebutan "Maesa lalean" dan "Mundingsari". "Maesa" atau kebo merupakan sebutan orang Jawa untuk menyebut kerbau, sedang "munding" adalah sebutan kerbau bagi orang Sunda. Munding merupakan sebutan penghormatan bagi jasa seorang pangeran yang telah memperkenalkan cara bertani pada masyarakatnya. Begitu pula dalam upacara perayaan "Malam Satu Suro" di Kraton Surakarta Hadiningrat, kerbau mendapat tempat atau posisi yang istimewa. Dalam perayaan tersebut, kirab Malam Satu Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule atau kerbau albino itu merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Barisan berikutnya dalam kirab tersebut, di belakang Kebo Bule adalah para putra Sentana Dalem atau kerabat keraton yang membawa pusaka. Kemudian diikuti oleh masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen, dan Wonogiri. Secara turun-temurun kerbau bule tersebut terus bertindak sebagai penjaga pusaka Kyai Slamet hingga akhirnya masyarakat luas menyebut kerbau itu sebagai "Kerbau Kyai Slamet". Namun nama kerbau tersebut bukan Kyai Slamet. Kerbau Kyai Slamet mengandung arti sebagai kerbau yang menjaga Kyai Slamet. Kyai Slamet itu sendiri adalah sebuah pusaka yang tak kasat mata, hanya Sang Raja yang tahu. Pada masyarakat Batak, kerbau juga dijadikan sebagai simbol yang bersifat sakral dan profan. Dalam upacara kematian seperti upacara "Saur Matua" dan "Mangokal Holi" (menggali tulang – memindahkan tulang dari kubur primer ke kubur sekunder) misalnya, kerbau dijadikan sebagai salah satu bagian penting dari rangkaian upacara. Demikian pula dalam upacara perkawinan, "Horja Bius" (acara penghormatan terhadap leluhur), dan pendirian rumah adat, kerbau dijadikan sebagai pelengkap upacara, pelengkap adat, dan hewan korban. Dalam ornamen rumah adat Batak pun, tanduk kerbau mendapat perlakuan khusus. Tanduk kerbau yang disematkan pada rumah adat Batak tersebut melambangkan tingginya kedudukan sosial (prestise) dan kekuasaan/kepemimpinan pemiliknya. Dalam tafsir mimpi, seperti yang saya kutip dari tafsirmimpi.com, seseorang yang bermimpi naik atau menunggang kerbau maka dia akan mendapat kemuliaan atau kekayaan. Jadi, sungguh keliru kalau kerbau disimbolkan sebagai sosok yang lamban, gemuk, dan bodoh. Kalau kerbau disimbolkan sebagai sosok yang negatif tersebut, saya pikir itu hanya pemaknaan yang bersifat keliru dan politis saja. So, jangan negative thinking dulu ya kalau ada yang ingin menghadiahi Anda kerbau, khususnya di hari ulang tahun Anda, apalagi sampai sembilan kerbau. Justru pemberian kerbau itu sebagai pertanda kehormatan bagi Anda, bukan penghinaan atau pelecehan. Kalau saya yang diberi, pasti saya tak bakal menolaknya. Sumber info: solopos.com, History of Java, jurnalfilsafat.com, jurnal.dikti.go.id, dan blog.ugm.ac.id. Sumber gambar: http://www.mediaindonesia.com

Baca tulisan-tulisan lainnya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun