Mohon tunggu...
Abdi Khalik
Abdi Khalik Mohon Tunggu... Auditor - --Pengamat--

Meninggalkan jejak melalui tulisan. Cek tulisan lainnya -Http://artikelbermanfaat100.blogspot.co.id-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dalam Karier "Keluarga" Adalah Nomor Satu

25 April 2018   07:10 Diperbarui: 25 April 2018   20:31 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Family via www.maxpixel.net

Sebagai seorang fresh graduate, saya terlalu over menanggapi masalah"karir". Bagaimana tidak, jiwa muda dan semangat dalam memulai dunia kerja setelah melepas status "mahasiswa", berada di level puncak dalam diri saya. Prioritas utama dalam berkarir di usia muda sudah menjadi trend bagi seorang anak baru lulus, artinya mereka dengan leluasa bak kutu loncat mencari pekerjaan yang sesuai dengan diri mereka, termasuk diri saya. Mungkin bagi mereka yang sudah berumah tangga pilihan itu banyak dipertimbangkan.

Saya mendapatkan rekomendasi pekerjaan di salah satu perusahaan pengolahan hasil laut dari kenalan yang bekerja di instansi pemerintahan. Usaha menebar umpan alhamdulillah membuahkan hasil. Saya mendapatkan posisi yang bisa dibilang crucial, yap sebut saja sebagai pengawas. 

Menjadi "pengawas" berarti saya selalu stand by setiap produksi berlangsung. Weekend ? ya tentunya saya harus siap. Setiap bahan baku "segar" masuk, produksi harus cepat dijalankan apapun hari itu, kecuali hari-hari besar atau tanggal merah. Pulang malam sudah menjadi hal biasa. Entah karena pekerjaan atau masih asik ngobrol dengan rekan kerja. 

Beberapa bulan berlangsung, saya merasakan sesuatu hal yang ganjal dalam diri. Setiap bangun tidur, tubuh terasa berat untuk beranjak dari tempat tidur. Saya mendefinisikan kondisi itu sebagai jenuh dalam pekerjaan. Padahal baru dibilang seumuran jagung loh. Kok bisa? 

Gaji memang kurang, peningkatan karir masih belum pasti,  dan  ada karyawan yang annoying. Saya sadar dan meyakinkan diri pasti bisa melewati hal itu. Namun, saya berpikir kembali  bahwa masa muda yang saya miliki tak harus berakhir disini jika masih ada tempat lain yang bisa menghargai masa muda saya. 

Keputusan sudah bulat,  akhirnya resign dengan cara terhormat sudah diputuskan. Saya bisa bersama keluarga disaat moment penting yang dulu pernah terlewatkan dan ayah saya yang sakit di usia tuanya dapat saya awasi selagi saya berada di rumah. Menjadi freelance writer adalah kesibukan yang dapat membunuh sedikit rasa galau setelah berstatus pengangguran. Saya memposisikan diri sebagai "pengangguran berfaedah".

Banting kiri kanan demi mendapatkan pekerjaan tetap sudah dilakukan, mendaftar CPNS sudah namun hasilnya nol "saya gagal". Hari-hari penuh kegalauan imbasnya adalah keluarga. Saya terkesan tempramental dan sensitif. Bahkan orang tua merasakan dampak sikap dingin saya. Sedih mengingat hal itu. Teringat sosok almarhum bapak, seorang yang sabar, yang selalu memotivasi anaknya, dan tak jarang disela-sela aktivitasnya beliau berdoa dengan sedihnya agar anaknya memiliki apa yang anaknya inginkan. Beliau tutup usia selang sebulan lebih setelah saya resign. 

Ya Allah saya belum bisa bahagiakan beliau. Beliau belum sempat melihat anaknya berhasil (ampunan dan keselamatan untuk almarhum bapak. Aamiin). Kehidupan yang saya jalani ternyata masih berada pada jalur yang salah. Saya masih suka menyalahkan diri terhadap apa yang dilakukan dulu. Jika saya bertahan di pekerjaan pertama, apakah hal ini tidak akan terjadi? astagfirullah saya seolah melawan takdir. Seolah membenci masa muda, saya bersikap seperti itu. Tidak sepantasnya keputusan yang saya ambil disesali berlarut-larut.

Birpikir keras mencari jalan keluar dalam masalah hidup, saya menghabiskan banyak waktu untuk merenung dan mengasingkan diri. Selama ini keluarga adalah satu-satunya hal yang paling banyak terlewatkan. Egois dengan masa muda, saya akui itu. Semangat yang menggebu-gebu terhadap masa muda membuat saya seakan menutup mata pada keluarga sendiri. 

Tidak hanya orang yang sudah berumah tangga yang punya tanggung jawab sehingga keegoisan mereka dihilangkan seketika sebagai sebuah tuntutan hidup, juga sebagai anak muda yang menyandang status dalam keluarga (punya lindungan dari orang tua) seperti saya ini seharusnya juga menjadikan keluarga adalah nomor 1.  Sebagai anak, sebagai saudara saya punya tanggung jawab. Hak yang saya perjuangkan ternyata tidak diikuti dengan kewajiban saya sebagai anggota keluarga.

Seandainya dulu saya masih bekerja, saya tak perlu mengeluh jika menempatkan keluarga berada di nomor 1. Bukannya hal ini bagus bagi diri sendiri karena menambah materi, pengalaman, dan daya tahan ? baik bagi perusahaan karena karyawannya menjadi loyal ?  Tanggung jawab keluarga bisa memotivasi karyawan dalam bekerja apalagi jika keluarganya berada pada level ekonomi menengah dan punya banyak tanggungan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun