Mohon tunggu...
Abdi Khalik
Abdi Khalik Mohon Tunggu... Auditor - --Pengamat--

Meninggalkan jejak melalui tulisan. Cek tulisan lainnya -Http://artikelbermanfaat100.blogspot.co.id-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara Hati dalam Diam

5 Maret 2018   05:22 Diperbarui: 5 Maret 2018   05:57 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Empty Classroom via flickr.com

Tidak  seorang pun di kelas pagi hari itu sekedar menyapa atapun melirik orang baru yang duduk di kursi sudut paling belakang kecuali Ardi yang baru saja datang ke sekolah setelah beberapa hari libur. Semuanya terlihat biasa-biasa saja, memang sih kelas itu terkenal akan kenakalanya, cuek, dan tidak punya rasa empati. Kalaupun ada murid baru, mereka tetap seperti biasa saja. Namun Ardi terlihat sangat penasaran.

"Hey lihat apa lu?" tanya John duduk di belakang Ardi  yang merasa terganggu dengan tingkahnya yang selalu menoleh kebelakang.

"Sepertinya wajahnya tidak asing, bukannya dia pernah sekelas dengan aku sewaktu kelas 1 SMP dulu tepatnya sekitar 5 tahun yag lalu,"tanya Ardi kepada dirinya sendiri. "tapi aku tidak ingat apakah dia sampai lulus, orangnya pun sama pediam, tidak jelas ekspresi yang dia tunjukkan. Aku tidak pernah bicara dengan dia bahkan tahu namanya saja tidak" Ah sudahlah, tidak punya waktu untuk ngobrol denganya.  Toh selepas sekolah aku langsung ke makam ayah"

Hari ini adalah hari pertama Ardi sekolah setelah seminggu ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil, lengkap sudah Ardi menjadi seorang yatim piatu dan dia tidak punya sanak keluarga lainnya. Ibunya lebih dulu meninggalkannya akibat kanker rahim dan saat itu Ardi baru saja duduk di kelas 1 SMP.  Ardi  tidak punya kenangan apapun saat detik-detik Ibunya meninggal.

"Ayah, semenjak ibu meninggal aku merasa dunia ini tak adil, tidak ada alasan lagi kenapa aku harus bahagia. Engkau pun tiada, dunia sepertinya membenciku, kalian adalah alasan kenapa aku bahagia" Tidak ada lagi senyum indah dari wajah Ardi, dia berubah jadi sosok pendiam dan dingin.

Ardi masih penasaran dengan orang baru itu. Dia merasakan ada sesuatu yang aneh, hal persis sama ketika ibunya meninggalkan dia dulu kemudian hilang dan saat ayahnya meninggal perasaan ini kembali lagi "aku seperti melihat diriku, mungkinkah dia juga mengalami nasib yang sama sepertiku?"

Keesokan harinya Ardi memutuskan untuk pindah duduk dibelakang. Tidak pernah terlepas pandanganya dari anak laki-laki itu. Ardi berniat  ingin  bicara dengan anak itu setelah pulang sekolah. Setelah bel pulang berbunyi, Ardi bergegas mengikutinya melewati jalan kecil dibelakang sekolah. Hari itu semuanya tampak basah karena baru saja turun hujan dan langit masih gelap selain karena banyak pepohonan padahal itu baru pukul 14:30. Ardi mengikutinya dengan langkah cepat dari arah yang cukup jauh dengan anak itu sambil memperhatikan langkahnya agar tidak menginjak genangan air yang berlumpur.

"Cepat katakan" Ardi kaget gemetar mendengar teriakan itu, Ardi terlalu fokus memperhatikan langkahnya dan tidak sadar anak itu berdiri di depanya lalu mendorong Ardi hingga jatuh ke tanah dengan tatapan marah sambil memegang kerah baju Ardi. "sekarang kamu harus jujur padaku"tanya anak itu. "apa maksudmu?" jawab Ardi. "Cepat ceritakan apa rahasiamu selama ini? Apa yang kamu rahasiakan dari Ibumu Ayahmu?" Anak itu mengulangi ucapan sebanyak tiga kali. Cengkraman anak itu terasa sangat sakit, Ardi tak lagi mampu menahanya.

"Rasa sakit yang selama ini kamu rasakan itu tidak akan pernah hilang kalau kamu tidak jujur, cepat katakan".

Ardi berpikir keras maksud dari anak itu. "apakah selama ini aku memendam sesuatu, apakah hal itu yang membuatku selama ini selalu sedih, aku tidak punya siapa-siapa untuk mengadu" Ardi terdiam beberapa menit namun tak mampu menahan air matanya dan berusaha membuka bibirnya yang gemetar.

 "Aku benci mereka, aku benci mereka, aku benci mereka" jawab ardi sambil terisak-isak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun