Mohon tunggu...
Abdul Azis
Abdul Azis Mohon Tunggu... Seniman - Belajar menulis

Mencoba belajar dengan hati-hati, seorang yang berkecimpung di beberapa seni, Tari (kuda lumping), tetaer, sastra.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku dan Selembar Daun Lontar Puisi

3 Desember 2020   18:12 Diperbarui: 3 Desember 2020   18:18 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Naskah daun lontar (koranjadul.com)

Kamis manis mampu menghipnotis pikiran. Argumentasi terus mengisi ruang sepi. Bicara tentang revolusi, agama, ideologi, dan deretan pengalaman gerakan di semesta raya pelbagai belahan dunia. Rindu menjadi piatu, lantaran temu tak dihiraukan oleh ajakan hati yang terlalu subjektif; memenuhi hasrat di malam sendu.

Adalah tentang cinta-rasa dunia modern. Lingkaran kecil menghilangkan heroik bendera, warna, dan latar belakang etnis. Kita disatukan oleh semangat muda. Golongan dari generasi yang peka dengan keadaan. Pasukan muda yang menolak kemapanan.

Mataku terus menatap, setiap orang-orang yang lewat. Kurekam setiap kejadian. Kuselami segala bahasa dan pembicaraan. Kemudian, kuteguk kopi hitam memecah kekakuan. Dengan kopi, imajinasi tak pernah dibunuh. Dengan diskusi, pikiran tak bisa dipenjarakan. Walau keramaian kota tak bisa dielak oleh siapa saja. Tapi, kita masih punya cara sendiri mengatasi tawaran zaman yang selalu memberi tekanan.

Aku diserang dengan rangkaian pertanyaan. Telinga masih setia menyimak. Mata masih akrab menatap. Bibir masih malu membuka sebuah percakapan.

Aku lebih memilih jadi pendengar yang setia. Tunggu jeda yang tepat, akan kumuntahkan pendapat. Tunggu putaran jam memberi kode, akan kujawab pelbagai pertanyaan.

Tanganku mulai nakal. Imajinasi mulai menggoda. Jemari ikut menghasut. Dan, aku menulis puisi.

Jika, masih banyak orang
Yang masih sepelekan puisi
Tak perlu merespon dengan garang
Tak perlu terbawa oleh emosi
Kekuatan kata
Mampu mengalahkan senjata
Lautan makna dari bahasa-bahasa
Akan tenggelamkan penguasa lalim
Menulislah dengan hati!

Selama ada kesempatan
Asalah keberanian!
Jika, semangat muda terus berapi
Biarkan orang berkata apa
Biarkan mereka berpendapat
Yang penting tangan tak tersesat
Yang penting pikiran tak dipenjara
Sebaik-baiknya kata
Harus ditulis
Seindah-indahnya bahasa
Tak perlu diberenggus

Di negara kita kemiskinan masih merajalela. Kita malah sibuk bicara tentang kejelekan orang. Buku merah terus diperbincangkan, kita masih bersikap masa bodoh. Berpuluh-puluh suara kebenaran dipenjarakan, kita malah ikut ketawa dan tetap menikmati nafsu dunia.

Ah ... kita terlalu alay menyimak berita. Kita terlalu kaku memahami kesepakatan dibalik layar kaca. Masihkan kita memilih menyerah sebelum membangun sebuah kesepakatan? Atau kita ikut menghasut, agar perpecahan tumbuh subur?

Jika kita mengaku anak peradaban, bukankah lebih baik menanamkan budaya. Budaya menulis misalnya; menulislah puisi walau selebar daun lontar. Dengan menulis kita akan dikenal Dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun