Mohon tunggu...
Abdul Azis
Abdul Azis Mohon Tunggu... Seniman - Belajar menulis

Mencoba belajar dengan hati-hati, seorang yang berkecimpung di beberapa seni, Tari (kuda lumping), tetaer, sastra.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Perjalanan Sang Musafir

29 November 2020   07:47 Diperbarui: 29 November 2020   08:07 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terhanyut dalam kisah indah menyentuh kalbu. Takdapat berpaling dalam kenangan masa lalu. Sang musafir terus mengembara mencari belahan jiwanya walau dia tahu ada seseorang yang menanti. Takpeduli semua itu, sang musafir tetap melangkah untuk mengisi lakuna dalam hati. Hingga ke ujung dunia, dia terus mencari ... mencari cintanya yang hilang.

Siang yang menyengat dan malam dingin tak dihiraukannya. Mendaki gunung yang tinggi bahkan menyeberangi lautan pun dilakukan demi mencari belahan jiwa --entah berada di mana-- yang sangat dicintainya. Namun, ia tak menemukannya. Asa pun mulai memudar. Kesedihan perlahan melanda diri. Dalam benaknya berkeliaran pikiran yang tidak menyenangkan. Sang musafir pun mulai goyah.

Bagaikan kapal yang terombang-ambing oleh ombak besar di tengah laut yang kelam. Tanpa ada cahaya yang memandu menepi. Tiada pelabuhan untuk bersandar dalam kesedihan yang mendalam. Begitulah keadaan sang musafir saat ini, terlihat dalam wajah tampan nan kuyu. Tiada gairah lagi untuk hidup. Dengan langkah gontai, ia kembali pulang ke rumah yang mana ada seseorang --dengan penuh cinta dan kesabaran-- menantinya.

Sang musafir takpernah tahu betapa seseorang itu --pendamping hidup yang dijodohkan oleh orang tua-- mempunyai cinta yang besar terhadapnya. Mata hati sang musafir telah dibutakan oleh cinta mendalam pada belahan jiwa yang taktahu di mana rimbanya.

Si pendamping tak pernah mengeluh apalagi benci atau marah. Ketulusannya pun terlihat saat merawat sang musafir yang kehilangan akal sehat hingga hampir merenggut nyawanya. Walau sang musafir selalu membentak dan memarahinya, si pendamping senantiasa melayani dengan penuh kasih sayang. Takpernah hilang senyum di wajahnya bahkan dia tidak meninggalkan sang musafir sendiri, selalu berada di samping dengan setia.

Hingga hari yang naas itu datang, kecelakaan yang takbisa dihindari lagi. Membuat si pendamping merenggangkan nyawa bertemu dengan Sang Khalik. Kehilangan mulai dirasakan sang musafir, dia hanya terdiam dan takdapat berbuat apa pun, lunglai tak berdaya. Tiba-tiba lelaki tua menghampirinya dan berkata, "Bacalah ini, Nak."

Sang musafir menerima dan mulai membuka lembar demi lembar dari buku itu. Semua yang dia baca mengenai si pendamping hingga terpaku pada satu halaman.

Engkau berjalan sendiri;
Aku tetap di sampingmu
Engkau tak memandangku;
Aku tetap takmau berpaling darimu
Engkau hanya melihat belahan jiwamu;
Aku tetap memandang dan mencintaimu
Karena engkaulah duniaku
dan hidupku

Tetes air mata luruh di pipi sang musafir setelah membacanya. Penyesalan seakan-akan datang menyerbu diri dan menyadari bahwa ada yang mencintainya selama ini namun semua disia-siakan. "Maafkan aku yang selama ini tidak pernah memperhatikanmu sama sekali dan sibuk dengan cinta lamaku. Kuharap kautahu, sekarang aku merasa sendiri dan terasing bagai hidup di dalam hutan  --jauh dari keramaian-- tanpa ada dirimu di sampingku," ujar sang musafir lirih dengan penyesalan dan kesedihan yang dalam.

Kediri, 29 November 2020
Buah karya: Abdul Azis Le Putra Marsyah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun