Mohon tunggu...
Abd RaufWajo
Abd RaufWajo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri Ternate

Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri Ternate

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Akreditasi dan Mindset

6 Maret 2022   09:10 Diperbarui: 6 Maret 2022   09:37 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By : Oephy Wajo

Setiap kita pasti mengingat sosok John Naisbitt, Futurulog terkemuka di Era Modern yang sukses memprediksi hadirnya perubahan global dengan tingkat akurasi yang menakjubkan melalui buku Megatrends. Dalam perkembangannya, beliau ternyata juga menulis sebuah esai tentang MINDSET sebagai tata pola pikir untuk membaca peluang dan menuai keberuntungan di masa depan. Menurut Naisbitt, pola pikir (mindset), “bekerja bagaikan rasi bintang di dalam kepala manusia. Kala hanyut dalam samudra informasi, pikiran manusia akan menemukan arah dengan berpegangan pada pola pikir. Pola pikir menjaga pikiran yang tetap pada jalurnya dan memberi tuntunan hingga sampai di tujuan dengan selamat”. Naisbitt bahkan menegaskan bahwa pola pikir yang paling mendasar baginya adalah “pahamilah betapa hebatnya bila anda TIDAK HARUS BENAR”. Sementara tentang masa depan, menurutnya “bukanlah spekulasi atau sebuah perjalanan ke daerah yang belum dikenal, melainkan masa depan didasarkan pada analisis mengenai masa sekarang”. (Naisbitt, 2008).


Narasi di atas merupakan pengantar dari bacaan terhadap pengalaman dan pengetahuan saya selama mengikuti jalannya proses Akreditasi Program Studi maupun Perguruan Tinggi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate. Jika tidak keliru, tanpa bermaksud menyalahkan siapapun atau menyudutkan unit manapun, saya berkongklusi bahwa akreditasi sebagai bagian dari kewajiban konstitusional perguruan tinggi yang harus dipenuhi, belum menjadi perioritas di IAIN Ternate. Memang diakui, bahwa bahasan tentang akreditasi selalu menjadi visi dari kepemimpinan di IAIN Ternate, namun menurut saya visi tersebut belum diterjemahkan secara realitas dalam ranah tata kelola akademik yang prioritas, melalui langkah-langkah strategis, baik dalam bentuk regulasi maupun optimalisasi kinerja. Sehingga wacana akreditasi muncul seperti “MITOLOGI”, yang nyata dalam pembicaraan, namun gaib dalam perbuatan. Atas realitas ini maka gambaran Naisbitt di atas menginspirasi saya untuk mengatakan bahwa titik pangkal persoalannya terletak pada pola pikir (MINDSET).


Pertama, pola pikir kita belum mewadahi seluruh himpunan informasi tentang pentingnya akreditasi bagi sebuah institusi pendidikan. Akibatnya kita seakan tidak memiliki pola pengembangan akademik yang jelas dan menjadi tolak ukur dalam mencapai tujuan akreditasi itu sendiri. Padahal dalam arahan umum Bapak Rektor IAIN Ternate tertanggal 06 Januari 2022 saat pelantikan 11 Pajabat di lingkungan IAIN Ternate, jelas sekali menunjukkan keberpihakan dan visi beliau tentang pentingnya peningkatan akreditasi dalam rangka mendapatkan kepercayaan dan apresiasi publik terhadap penyelenggaraan pendidikan di IAIN Ternate. (Indotimur, 05 Maret 2022). Persoalannya adalah sejauhmana setiap pemangku kepentingan dibawahnya, dapat menerjemahkan keberpihakan beliau itu melalui susunan dokumen “peta jalan” (roadmap) sebagai arah kebijakan akademik untuk dikerjakan dalam mencapai visi Rektor tersebut?. Tentunya hal ini mustahil terwujud, manakalah semua informasi yang kita terima belum membentuk pola pikir kita dalam bertindak. Dilain sisi, informasi tentang berbagai perguruan tinggi yang telah sukses mengejar peringkat akreditasi, belum membentuk pola pikir kita untuk mengambil, meniru dan memodifikasi dalam kebijakan dan tindakan yang lebih nyata. Kita selalu merasa “Benar” dan lebih tahu dari yang lain, sementara kata Naisbitt, bahwa pola pikir yang hebat itu adalah selalu merasa “TIDAK HARUS BENAR”, agar mau belajar mencari kebenaran.    


Kedua, Mindset kita tentang akreditasi adalah sekedar tuntutan formalisasi pengelolaan pendidikan tinggi. Pola pikir inilah yang berdampak pada persepsi bahwa keikutsertaan kita dalam akreditasi hanya sekedar memenuhi tuntutan pemerintah agar setiap program studi dan perguruan tinggi terhindar dari sanksi administrasi. Padahal tujuan utama dari pemberlakuan akreditasi adalah upaya pemerintah dalam mendorong penyelenggaraan pendidikan di Indonesia menjadi lebih bermutu, baik melalui mutu input, mutu proses mapun mutu luaran (output) dalam menjawab kebutuhan pengguna (user). Hal ini sebagaimana diatur pada pasal 02 Paraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi, bahwa Akreditasi merupakan sistem penjaminan mutu eksternal sebagai bagian dari sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi. 

Tujuannya adalah untuk menentukan kelayakan Program Studi dan Perguruan Tinggi berdasarkan kriteria yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi; dan Menjamin mutu Program Studi dan Perguruan Tinggi secara eksternal baik bidang akademik maupun non akademik untuk melindungi kepentingan mahasiswa dan masyarakat. Isyarat PERMEN di atas, terlihat jelas bahwa Akreditasi tidak sekedar tuntutan administrasi agar terhindar dari sanksi, melainkan suatu sistem yang dibangun oleh pemerintah untuk mengukur kelayakan sebuah program studi dan perguruan tinggi serta untuk menjamin mutu kelembagaannya agar dapat melindungi kepentingan mahasiswa dan masyarakat.


Persepsi yang keliru tersebut juga berakibat pada ketidakseriusan kita dalam mengkuti proses akreditasi. Sebagai contoh, di setiap assesmant lapangan, para assessor selalu memberikan dokumen hasil evaluasi yang berisi catatan kekurangan dan rekomendasi. Namun setiap salinan dokumen yang telah kita tanda tangan itu, tersimpan rapi di laci meja seakan tidak berfaedah dan tidak ada tindaklanjutnya sama sekali. Sementara dokumen evaluasi itu sangat berguna untuk penyerpurnaan tata kelola program studi agar menjadi lebih bermutu. Akhirnya data based tentang dokumen kreditasi tidak tersistem dengan baik. Kita baru memikirkan akreditasi, manakalah periode akreditasi kita sudah diambang batas bearkhir. Disitulah para pengelola prodi sibuk menyiapkan kelengkapan data yang dibutuhkan. Padahal idealnya, kesiapan program studi dalam mempersiapkan data pengajuan akreditasi/reakreditasi minimal 2 tahun sebelum periodisasi akreditasi pada prodi tersebut berakhir. Seperti itulah yang kita lakukan selama ini,-semoga tidak selamanya-.


   Ketiga, Minset yang terbangun selama ini adalah bahwa akreditasi menjadi tanggung jawab Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) dan Unit Pengeloa Program Studi (UPPS). Menurut saya, ini adalah pola pikir yang keliru. Sebab bias dari pola pikir ini membuat UPPS dan LPM menjadi sasaran amuk dari persepsi civitas akademika atas berbagai persoalan yang timbul dari akreditasi. Seakan urusan akreditasi ini adalah urusan khusus di program studi semata, dan terlepas dari beban civitas akademik lainnya. Sementara jika dilihat dari 9 (Sembilan) standar akreditasi yang menjadi acuan penilaian, semua komponen akademik memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dalam memenuhi tuntutan kesembilan standar tersebut sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya masing-masing.

Karena kesalahan persepsi inilah sekaligus terkesan menyiksa para pengelola program studi dalam menyusun borang dan menghadapi assemant lapangan akreditasi prodi. Sebagai pengelola prodi, Saya sendiri pernah mengalami, betapa kita harus mondar-mandir cari data, mengemis disetiap unit untuk memperoleh data, memohon pertolongan dari berbagai pihak agar membantu kelancaran akreditasi dan begitu seterusnya. Kasian sekali nasib para pengelola program studi ini. Hal ini menunjukkan bahwa Kita belum terbiasa dgn bekerja secara interkoneksi dalam mendorong percepatan kemajuan akreditasi di IAIN Ternate. Belum ada satu persepsi bersama bahwa jika prodi terakreditasi dengan nilai memuaskan, yang menikmati bukanlah para pengelolanya saja, melainkan semua komponen dalam prodi tersebut, baik dosen, pimpinan maupun pegawai. Bahkan nilan akreditasi yang bagus, secara kelembagaan akan berdampak pada kepercayaan masyarakat akan perguruan tinggi, daya serap mahasiswa baru akan lebih banyak, daya serap alumni akan lebih baik, bahkan akreditasi juga menentukan tambahan pundi anggaran dari pusat melalui DIPA, serta dampak positif lainnya.
Keempat, Mindset kita tentang pengelolaan pendidikan tinggi masih terjebak pada rutinitas, dan belum fokus pada peningkatan kreativitas. Kita memang senang menoropong masa depan, tetapi tidak berikhtiyar menyongsong datangnya masa depan. Sementara kita ketahui, bahwa hampir semua perguruan tinggi di Indonesia saat ini terus bergerak mengikuti perkembangan dan perubahan yang selalu dinamis dan kompetitif. Adalah Arif Satria, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) yang sempat memberi Kuliah Umum di IAIN Ternate belum lama ini memaparkan dalam bukunya “Rector Message Mindset Baru untuk Transformasi”, bahwa saat ini kita hidup di alam perubahan yang begitu cepat, diiringi dengan ketidakpastian dan kompleksitas yang amat tinggi, Oleh karena itu menurutnya, disrupsi ini mengajarkan kita bahwa yang menentukan masa depan adalah kecepatan belajar (learning agility) dan bertindak dalam merespon perubahan. Kecepatan belajar ini adalah soal mindset. Mindset merupakan modal utama kekuatan transformasi masyarakat, termasuk transformasi perguruan tinggi. Sehingga menurut Satria, untuk menuju transformasi perguruan tinggi, maka yang dibutuhkan adalah “growth mindset”, dan bukan “fixed mindset”. Mereka yang memiliki growth mindset selalu berfikir masa depan dengan belajar pada realitas masa kini. “Growth mindset” umumnya dimiliki oleh orang yang tergolong “agile learner”, pembelajar yang lincah, cepat, dan tangkas. Sedangkan fixed mindset adalah mereka yang melihat masa depan dengan selalu terobsesi pada masa lalunya. Pola pikir ini membuat orang selalu selalu merasa puas dengan masa lalunya dan sulit diajak untuk melangkah ke masa depan, pasrah menerima keadaan begitu saja, apatis terhadap perkembangan dan merasa bahwa lingkungan dan dirinya tidak mungkin akan berubah. (Arif Satria, 2021; materi kuliah umum IAIN Ternate, 2021).
Untuk itu, jika IAIN Ternate berkeinginan memperoleh akreditasi yang memuaskan, maka semua komponen harus mau berbenah diri, merubah mindset kita dari fixed mindset menjadi growth mindset. Merubah pola pikir bahwa akreditasi menjadi tanggungjawab bersama, melalui implementasi kebijakan, pendanaan serta keterlibatan aktif dari semua komponen dalam berkolaborasi memenuhi standar penilaian akreditasi. Saatnya kita membiasakan diri untuk berkerja secara terkoneksi dan terus bergerak dengan satu mindset yg sama untuk mewujudkan satu tujuan akhir yang bernama AKREDITASI UNGGUL itu. Insya Allah dengan perubahan mindset, besar harapan IAIN akan segera menjemput Visi Rektor dalam bertransformasi menuju Universitas. Amiin Ya Rabbal ‘Aalamiin. -- Wallahu ‘alam Bisshawaab--
 
Ngade Puncak, 06 Sya’ban 1443 H

Oephy Wajo,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun