Mohon tunggu...
Abd. Ghofar Al Amin
Abd. Ghofar Al Amin Mohon Tunggu... wiraswasta -

|abd.ghofaralamin@yahoo.co.id|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Gini Bagi Zakat Kok Harus Ngantri!

17 Juni 2016   08:52 Diperbarui: 17 Juni 2016   09:09 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antrian pembagian zakat (sumber; kompas)

Menarik sekali artikel yang ditulis oleh kompasianer Irwan Rinaldi Sikumbang dengan judul Kenapa Zakat Langsung Lebih Disukai? yang diheadline oleh Admin. Inti dari artikel tersebut jika penulis tidak gagal paham adalah bahwa masyarakat kita lebih suka memberikan zakat langsung kepada penerima (mustahiq), terutama  mustahiq yang terdekat dengan wajib zakat (muzakki), baik dekat secara geografis, emosional maupun kedekatan-kedekatan lainnya. Permasalahannya lembaga zakat selama ini belum bisa menjangkau pangsa pasar yang dikehendaki oleh para muzakki.

Pada suatu waktu, lembaga zakat tingkat kabupaten di daerah penulis tinggal membagikan paket zakat ke (warga) desa melalui pemerintah desa setempat. Berapa paket yang dititipkan ke kantor untuk dibagikan ke warganya? 20 paket, bayangkan 20 paket, sementara mustahiq di kampung bisa 100 kali lipat dari paket yang dibagikan, dan muzakki yang menyetorkan dananya ke lembaga zakat kabupaten, sebenarnya jika dikelola oleh lembaga zakat desa (kalau ada) meskipun tidak mencukupi untuk 2.000 paket, paling tidak bisa setengahnya yakni 1.000 paket, lalu kemana 1.000 paket lainnya? Tentu tidak dikorup oleh pegawai lembaga zakat, tapi disubsidi silangkan ke daerah yang minus muzakki (PNS/BUMN) yang setor ke lembaga zakat kabupaten.

Nah, selain yang disampaikan oleh kompasianer Irwan Rinaldi Sikumbang, contoh di atas juga menjadi salah satu keengganan para muzakki untuk menyetorkan zakatnya melalui lembaga zakat dan memilih membayarkan secara langsung kepada mustahiq. Keuntungannya jelas, seperti yang rekan Irwan sebutkan di artikelnya. Bahkan dicontohkan kalau si tetangga yang mampu adalah seorang pengusaha atau pedagang besar yang labanya juga besar, ada yang sengaja memberikan zakat secara khusus yang membuat ratusan orang antri pada hari yang ditentukan sejak subuh. 

Tentu ini juga kadang dilakukan oleh para pejabat dan politisi sebagai ruang untuk pencitraan. Salah satu akibat buruknya adalah, kadang-kadang ada insiden saat antri tersebut, dari yang sekadar pusingkepanasan, pingsan, dan bisa terjadi korban jiwa juga. Belum lagi kalauc alon mustahiq membawa balita, sudah antri lama giliran terakhir malah paket zakat sudah habis, oh tiwas amat! Dan ini sudah sering terjadi di berbagai daerah dan banyak diberitakan oleh media.

Korban antrian pembagian zakat (sumber; kompas)
Korban antrian pembagian zakat (sumber; kompas)
Kenapa harus antri? Kata rekat Irwan, karena si pengusaha sangat sibuk, dan hanya menyediakan waktu khusus di hari tersebut. Beliau tidak mau menyampaikan via Bazis, karena ingin merasakan kehangatan suasana saat bersalaman dengan penerima zakat. Melihat rona muka berseri si penerima, rasanya luar biasa. Lagi pula tentu ada keuntungan lain (meski ini bukan menjadi motivasi berzakat), bahwa lingkungannya akan mencap beliau sebagai orang kaya yang baik hati, sehingga secara tidak langsung mencegah lingkungannya untuk berbuat yang tidak patut, seperti mencuri, ke orang kayayang baik hati itu tadi.

Jadi, disadari atau tidak, secara sosial, ada hubungan yang saling membutuhkan antar tetangga antara yang beruntung dan yang kurang beruntung. Bayangkan kalau tinggal di komplek mewah yang semuanya orang kaya, maka yang dibagikan adalah zakat kepada satpam-nya, tuna karya di kampung yang berdekatan, agar tidak ada perasaan iri kepada orang komplek mewah.

Boleh lah, kalau itu yang menjadi alasan para muzakki yang menginginkan pencitraan dan seabreg keuntungan yang telah dipaparkan dalama rtikel Irwan. Tapi sesungguhnya akan lebih elok jika pembagian zakat tersebut melalui panitia /amil (yang dibuat sendiri) dan tidak perlu harus antri. Para amil itu bertugas untuk mendistribusikan zakatnya ke para mustahiq. Dengan cara demikian pun tetap tidak menghilangkan nila-nilai keuntungan yang bisa didapatoleh muzakki yang membagikan zakatnya secara langsung dan antri, sebab mustahiq tetap tahu bahwa zakat ini dari si Bapak Anu dan dan zakat itu dari Bapak Ono. Kalau soal salama, gampang lah nanti kalau lebaran Idul Fitri diadakan open hous, kan bisa saling salaman tanpa harus ada korban.

Di daerah penulis tinggal ada seorang pengusaha kaya yangmemiliki usaha di luar kota. Setiap Ramadlan, dia selalu membagikan zakatnya ke kampung halamannya. Tapi selama puluhan tahun membagikan zakat langsung, tidak pernah mengundang mustahiq untuk antri di halaman rumahnya yang sangat besar itu. Dia membentuk panitia/amil yang bertugas membagikan zakat hingga hampir1.000 paket. 

Pembagian zakat ini cukup ditangani oleh 20-an orang amil,masing-masing amil membagikan 50 paket (amplop) kepada para mustahiq yang telah ditentukan. Mereka juga dibekali form tanda terima zakat, sehingga muzakki akan dengan mudah bisa memantau ketersampaian zakatnya kepada para mustahiq. Cukup waktu setengah hari (sore) pembagian zakat ini sudah selesai, tidak repot, tidak antri dan tidak banyak resiko kepanasan, pingsan, masuk rumah sakit dan seabreg resiko lainnya. Coba dibayangkan jika 1.000 orang dikumpulkan di halaman rumah? Seperti mau kampanye saja bukan? 

So, buat para bos-bos yang mau berbagi zakat, tidak usahlah mengundang para mustahiq ke rumah Anda. Bikin saja panitia kecil, bagikan door to doorseperti yang dilakukan bos di daerah penulis tinggal. Proses pembagian zakat lancar, tidak repot dan jangan khawatir, nama Anda sebagai bos yang dermawan dan baik hati tetap akan terkenang di hati masyarakat di lingkungan Anda. Memang, ikhlas itu tempatnya di dalam hati, tapi berbagi zakat dengan cara antri kesannya jadi kurang ikhlas, lebih cenderung pamer (riya). Wallohu a’laam.. (Banyumas, 17 Juni 2016)

Met Jumat Mubarok!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun