Mohon tunggu...
Abas Basari
Abas Basari Mohon Tunggu... Guru - Guru Biologi SMA Al Masoem

melakukan apa pun yang bisa, kalau boleh orang lain bahagia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bugis Hui Menambahi Khazanah Kuliner Nusantara

15 September 2022   05:12 Diperbarui: 15 September 2022   05:19 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Asyik ada jajanan pagi-pagi nih !", seru saya.  Kepo saya semakin kuat karena baru melihat pertama kali jajanan seperti itu. Tersimpan di atas meja Dani yang bertugas sebagai pengelola ekstra Pesantren Siswa Al Ma'soem (PSAM).

 "Dan, apa ini ?", tanya aku kepada Dani. "Ayo, Pak kita makan di sini !" ajak Dani.

Sehubungan masih ada agenda kegiatan ekstra Tataboga PSAM di hari Sabtu, maka ajakan Dani saya tunda. "Boleh dipisahkan khusus buat saya", rayu saya. "Siap, Pak Abas", jawab Dani.

Selepas kegiatan ekstra Tataboga maka kuputuskan untuk menikmati sajian entah apa isinya. Sepertinya saya baru lihat jajanan tersebut. Baik bentuk dan ukuran membuat saya jadi penasaran.

Seperti apa simak yu !

Disamping saya, Dani pun sudah duduk sambil senyum simpul melihat sikap saya. Satu piring berisi lima jenis jajanan sudah tersedia di meja tamu. Dani secara sabar  menyampaikan nama makanannya satu per satu.

  • Bugis Hui. Duh..dari namanya tidak ada kaitan dengan Suku Bugis di Makassar ya. Hui nama lain untuk ubi jalar dalam bahasa Sunda. Umumnya makanan Bugis berbahan dasar tepung beras ketan putih. Nah, ini dia yang jadi istimewa adalah unsur Hui. Kepo dengan kemasan dan rasa seperti apa maka langsung saja dibuka bungkusnya. Bugis Hui dibungkus dengan daun pisang. Hitungan detik sudah terbuka, wangi ubi jalar langsung menyeruak menubruk hidung. Dengan  mengucapkan "Basmallah" dan doa makan, aku santap Bugis Hui.
  • Rasa manis gula aren begitu dominan, ya rasa khas mengingatkan masa kecil di Sumedang. Lembutnya hui serta aromanya seakan berebut perhatian lidah untuk terus mengunyah Bugis Hui. Hui menjadi solusi karena produksi melimpah. Saya baru merasakan makanan seperti ini jadi bagaimana keseruan makannya susah diceritakan ya. Enak lah.
  • Ciu. Ini kombinasi Aci (tepung singkong) dan Cau (pisang). Makanan yang tidak asing di telinga maupun di lidah, hanya bentuknya yang berbeda. Masih menggunakan bungkus dari daun pisang namun ada semat sebagai pengikat daunnya. Biasanya hanya digulung daun pisang kemudian ujung-ujungnya dilipat dan ditekuk ke dalam. Ini pun berbeda, jadi lumayan kepo lah dengan penampilan Ciu.
  • Uras isi Oncom. Makanan yang mengingatkan kepada emak di kampung. Jika bepergian maka akan dibuatkan uras isi oncom. Rasa dan aroma oncom sudah sangat jelas dan bukan barang asing lagi. Lidah sudah sangat menerima makanan ini. Uras (Sunda) atau lontong isi oncom dibungkus daun pisang namun berukuran kecil. Cukup untuk dua kali kunyah, habis.

Keunikan uras isi oncom terletak pada rasa oncom yang datar, tanpa micin atau penyedap rasa lainnya. Jadi setelah disantap tidak meninggalkan rasa gurih di lidah. Perihal ukurannya memang kecil jadi sangat cocok untuk makanan pembuka.

Cara buat yang sederhana, nasi aron ditumbuk, disimpan di atas daun pisang, isi dengan oncom yang sudah ditumis, tutup lagi dengan nasi aron, gulung daun pisang yang berisi nasi aron. Ujung bungkus ditekuk kiri dan kanan. Kukus.

  • Bacang. Bentuk yang runcing dan bagian bawah segi empat diikat dengan tali bambu yang lentur. Berbentuk besar dan berbahan beras campur beras ketan. Itulah bentuk bacang. Namun yang ini beda banget, bentuknya kecil. Untuk dua kali suap sudah selesai. Lagi-lagi saya kepo dengan isinya, ternyata hanya tumis sayuran. Tapi dengan rasa tanpa micin sama sekali sehingga tidak menimbulkan kesan gurih di mulut. Ini yang luar biasa.
  • Katimus. Istilah untuk parutan singkong, parutan kelapa, dan gula aren. Baik lidah maupun telinga sudah tidak asing, hanya pas melihat bentuknya, lah kok bisa sekecil ini. Kembali saya terheran-heran. Hanya dalam dua kali mengunyah langsung habis.

Lima jenis makanan tradisional Desa Sanding, Majalaya, Kabupaten Bandung dibandrol dengan harga Rp. 1000 per bijinya. Sebuah harga yang sesuai dengan kantong pembeli saat ini.

Informasi dari Dedi, Sang Empunya kerjaan, bahwa makanan ini diproduksi secara massal di Desa Sanding yang khusus untuk dijual di Pasar Majalaya. "Setiap hari membuatnya, Alhamdulillah jadi ada pekerjaan", jelas Dedi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun