Mohon tunggu...
Abah Ucup
Abah Ucup Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pengajar yang menjaga keresahannya

Semakin dewasa kesukaan semakin absurd

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Praktik Pengorbanan Manusia dan Pandangannya yang Lain

11 Juli 2022   15:49 Diperbarui: 11 Juli 2022   15:53 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di setiap momen idul Fitri seyogyanya diiringi dengan penyembelihan hewan korban berupa sapi, kerbau atau kambing. Menurut kepercayaan umat Muslim hewan-hewan yang dikorbankan tersebut merasa berbahagia. Kebahagiaan itu disebabkan mereka adalah hewan-hewan terpilih yang kelak akan menjadi tunggangan bagi mereka yang mengorbankannya kelak.
Pengorbanan hewan pada hari raya Idul Adha menjadi salah satu ajaran dalam Agama Islam yang sudah ada sejak zaman Nabi Ibrahim A.S. Akan tetapi ajaran atau perintah pengorbanan atau sacrifice dengan media makhluk hidup tidak hanya ditemukan dalam ajaran Agama Islam. Di dalam beberapa agama dan kepercayaan juga ditemukan ajaran atau perintah untuk melakukan pengorbanan. Kapan sebenarnya kebudayaan pengorbanan mahluk hidup dimulai? Dan dalam ajaran mana saja terdapat pengorbanan?

Awal mula manusia memiliki kepercayaan
Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai ajaran pengorbanan mahluk hidup yang dilakukan oleh manusia. Baiknya bertolak dari sejak kapan manusia mulai meyakini adanya entitas di luar dirinya yang kemudian diyakini memiliki kekuatan, baik sebagai pencipta dunia atau penggerak roda semesta. Sederhananya kita bertolak dari sejak kapan manusia memiliki sebuah kepercayaan.
Agustn Fuentes, profesor antropologi yang selama puluhan tahun menekuni primatologi di Universitas Notre Dame, berupaya menjawab pertanyaan itu dalam bukunya Why We Believe: Evolution and the Human Way of Being (Yale University Press, 2019) dalam (https://crcs.ugm.ac.id/asal-mula-kepercayaan-dalam-penjelasan-evolusioner/ diakses pada 10 Juli 2022). Dalam buku tersebut Fuentes mencoba menjelaskan kapan manusia mulai memiliki kepercayaan terhadap suatu entitas di luar dirinya.
Menurut Fuentes kepercayaan muncul seiring dengan semakin kompleksnya kehidupan manusia kala itu, khususnya dalam mempertahankan hubungan sosialnya dengan manusia lain. Fuentes sendiri sangat terpengaruh oleh pandangan seorang ekolog Amerika, G. Evelyn Hutchinson yang mengatakan jika manusia memiliki kemampuan multidimensional yang disebut niche.
Niche adalah kemampuan manusia untuk berinteraksi (baca:memahami) lingkungan fisiknya. Niche berkembang secara kontinuitas dari satu generasi ke generasi lainnya. Baginya niche lah yang membedakan manusia yang hidup di hari ini dengan para pendahulunya dalam hal berkolaborasi antar sesama, menciptakan alat bantu, dan memproduksi pengetahuan. Bagi Fuentes, niche adalah asal mula manusia memiliki kapasitas untuk percaya terhadap sesuatu.
Masih menurut Fuentes lambat laun niche kemudian bertransformasi menjadi kultur. "Kultur memungkinkan manusia untuk meyakini dirinya sebagai pusat alam semesta" (h. 38). Rasanya pandangan Fuentes tersebut tidak berbeda dengan pandangan Nietzsche.
Bagi Nietzsche, manusia bekecenderungan ingin membuat dunianya dalam suatu tatanan konseptual yang telah di-fixed-kan sehingga dengan itu manusia terus mencipta realitasnya sendiri (https://www.qureta.com/post/nietzsche-dan-kebutuhan-untuk-percaya diakses pada 10 Juli 2022). Bagi Nietzsche realitas adalah kontradiktif (benar dan salah) dan chaos tidak dapat dihindarkan. Menurutnya kebenaran adalah mutlak dan objektif, kekeliruan tidak dapat dibenarkan. Kaum teistik lah yang kemudian mencari jalan dari realita yang kontradiktif, yang objektif dan hitam-putih. Mereka kemudian menciptakan pegangan (kepercayaan) sebagai landasan bagi penolakan realitas.
Menurut Yuval Harari dalam bukunya Sapiens, kepercayaan muncul ketika manusia telah mengalami perubahan dalam kehidupannya. Bercocok tanam dengan sistem pertanian, domestikasi hewan, dan hidup menetap di suatu tempat membuat manusia memiliki waktu luang, yang kemudian digunakan manusia untuk meningkatkan kemampuan intelektual sekaligus kebudayaannya.
Pada akhirnya kepercayaan yang dimiliki juga ikut mengubah pandangan manusia terhadap kehidupan. Semula manusia hanya mempercayai kemampuan alamiahnya (baca: fisik), sebagaimana yang mereka gunakan pada fase kehidupan berburu. Kemudian lambat laun berubah, seiring dengan peningkatan intelektual dan kebudayaan. Sampai akhirnya mereka mempercayai jika terdapat suatu entitas yang lebih besar, yang mengatur dan mempengaruhi kehidupan mereka.
Pengorbanan Sebagai Salah Satu Bentuk Kebudayaan Kuno Manusia
Mungkin diantara kita sudah sering mendengar atau melihat dari film-film yang berlatar waktu masa lalu adanya prosesi pengorbanan yang dilakukan dikala itu. Proses atau ritual pengorbanan yang dilakukan biasanya dengan media manusia sebagai korbannya. Misalnya saja film kartun Doraemon yang berjudul "Legenda Dewa Matahari". Di film tersebut terdapat adegan tokoh Nobita yang akan dikorbankan oleh seorang penyihir.
Ternyata praktik pengorbanan, khususnya dengan media manusia merupakan salah satu tradisi yang terjadi pada zaman kuno. Beberapa kebudayaan kuno, seperti kebudayaan kuno Tiongkok, Maya Aztec, Mesir, Inka, Yunani, Minoan, dan Celtic tercatat pernah mempraktikan pengorbanan manusia ini. Di kawasan Asia-Pasifik juga dikenal dengan tradisi seperti ini. 

Praktik pengorbanan atau sacrifice dengan korban manusia dilakukan dengan motif kepercayaan. Manusia-manusia yang dikorbankan dalam ritual tersebut dimaksudkan untuk dijadikan persembahan bagi para dewa. Praktik pengorbanan manusia memang seiringan dengan kemunculan kepercayaan. Manusia kala itu percaya dengan melakukan pengorbanan manusia akan membuat dewa merasa senang dan menjauhkan bencana dari manusia. Hal yang tentu saja dianggap sebuah kekonyolan bagi manusia masa kini. Kepercayaan yang kuat itu lah yang kemudian membuat praktik ini bertahan selama berabad-abad. Di beberapa tempat di dunia bahkan tetap bertahan sampai abad ke-20.
Jika dilihat dari kacamata saat ini tentu praktik tersebut sangat lah kejam. Bagaimana tidak, nyawa seorang manusia nampak tidak berharga. Akan tetapi bagi masyarakat kala itu, hal ini tidak lah demikian. Menurut mereka mengorbankan diri adalah kebahagiaan dan sebuah kehormatan. Bahkan dianggap sebagai sebuah pembuktian rasa setia dan loyalitas. Namun seiring dengan perkembangan peradaban praktik pengorbanan manusia kemudian dilarang.
Penghentian Praktik Pengorbanan Manusia
Jika pengorbanan manusia adalah salah satu ajaran atau ritual dalam sebuah kepercayaan kuno, maka hal itu (pengorbanan manusia) tidak ditemukan. Pada agama Yahudi dan Islam praktik pengorbanan dengan media manusia digantikan dengan pengorbanan dengan media hewan, yaitu biri-biri. Pengorbanan tetap menjadi salah satu ajaran agama namun yang dikorbankan bukanlah manusia melainkan hewan. Di dalam Yahudi dan Islam pengorbanan bahkan tercatat di dalam kitab suci kedua agama tersebut. Namun berbeda dengan Yahudi dan Islam, di dalam Agama Kristen bahkan tidak terdapat praktik pengorbanan.
Di luar dari ajaran tiga agama tersebut (Yahudi, Kristen dan Islam), praktik pengorbanan manusia memang tidak cocok bagi tata cara kehidupan manusia modern. Keji, tidak manusia dan melanggar hak asasi, serta tidak berperadaban adalah variabel yang digunakan untuk menolak praktik tersebut. Bahkan meski bermotif kepercayaan sekalipun praktik semacam ini juga kemudian dilarang. Oleh karena itu kini kita tidak akan lagi menemukan praktik pengorbanan manusia.

Transformasi praktik pengorbanan manusia yang Tidak Disadari

Apakah benar praktik pengorbanan manusia telah benar-benar hilang? Secara harfiah mungkin praktik pengorbanan manusia dengan cara membunuhnya di depan umum atas nama kepercayaan (baca: agama) memang tidak akan kita jumpai. Namun  praktik pengorbanan manusia di era modern nampaknya telah mengalami transformasinya yang lain. 

Perang, kelaparan, ketimpangan ekonomi, dan konflik politik yang memakan banyak korban jiwa bukan kah dapat digolongkan ke dalam transformasi pengorbanan manusia di era modern? Dan bukan kah demokratisasi dan kekuasaan politik menjadi alasan atas pengorbanan itu laiknya kepercayaan yang melatar belakangi pengorbanan pada masa kuno?  Tentu itu semua adalah tindakan yang dilakukan secara sadar bukan?. Disadari atau tidak manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, homo homini lupus seperti apa yang diucapkan Plautus pada 195 M, ribuan tahun yang lalu. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun