Sebagai bagian dari generasi Z, saya tumbuh dalam era digital, di mana segala informasi mudah diakses dalam hitungan detik. Namun, di tengah arus informasi yang serba cepat, nama Pramoedya Ananta Toer awalnya tidak begitu familiar bagi saya.Â
Baru di usia 23 tahun, saya mulai mengenalnya bukan dari pelajaran di sekolah, bukan dari media sosial yang sibuk membicarakan tren, tetapi dari rasa penasaran tentang sastra dan sejarah Indonesia.
Bagi banyak orang seusia saya, membaca karya Pram bisa terasa seperti menyelami dunia yang jauh dari kehidupan kita saat ini. Tapi justru di situlah letak kekuatannya.
ia membuat sejarah terasa dekat, membuat ketidakadilan terasa nyata, dan membuat kita, anak-anak zaman sekarang, merenungkan kembali siapa kita dalam perjalanan bangsa ini.
Siapa Pramoedya Ananta Toer?
Pramoedya (1925--2006) adalah seorang penulis, sejarawan, dan pemikir yang menciptakan beberapa karya terbesar dalam sastra Indonesia. Ia bukan hanya seorang novelis, tetapi juga seorang saksi zaman yang mengalami langsung penjajahan, revolusi, pemenjaraan, dan pembungkaman.
Dibungkam oleh pemerintah Orde Baru selama 14 tahun di Pulau Buru, ia tetap menulis bukan dengan pena dan kertas, tetapi dengan daya ingat yang luar biasa. Karyanya lahir dari pengasingan, dari luka sejarah, tetapi juga dari cinta yang dalam terhadap Indonesia.
Buku-bukunya dilarang di masa lalu, tetapi justru karena itulah saya semakin ingin membacanya. Mengapa seorang penulis begitu ditakuti? Apa yang ia tulis hingga dianggap berbahaya?Â
Pertanyaan-pertanyaan ini membawa saya pada karya-karyanya, yang akhirnya mengubah cara saya memandang dunia.
Sekelumit Tentang "Bumi Manusia"
Ketika akhirnya saya membaca Bumi Manusia, saya merasa seperti menemukan sesuatu yang telah lama hilang sebuah cermin yang memantulkan realitas Indonesia dalam masa kolonial, tetapi tetap terasa relevan hingga hari ini.
Novel ini berlatar belakang Hindia Belanda pada akhir abad ke-19, saat sistem kolonial masih menindas pribumi. Di dalamnya, kita mengikuti kisah Minke, seorang pemuda pribumi yang bersekolah di HBS, sekolah khusus untuk anak-anak elite Eropa. Minke adalah seorang pemikir dan penulis yang kritis, tetapi statusnya sebagai pribumi membuatnya selalu dipandang rendah oleh kaum kolonial.
Konflik utama dalam novel ini berpusat pada kisah cinta Minke dengan Annelies, gadis keturunan Indo-Eropa, putri dari Nyai Ontosoroh, seorang gundik (selir) yang justru lebih cerdas dan berpendidikan dibanding banyak pria pada zamannya. Nyai Ontosoroh adalah simbol perempuan yang melawan sistem, berjuang agar hak-haknya diakui, meski hukum kolonial tidak berpihak padanya.