Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hasil atau Proses?

2 Desember 2014   18:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:14 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Meraih gelar di masyarakat bisa dilakukan dengan berbagai cara. Menurut seorang peneliti, masyarakat Asia cenderung lebih menghargai HASIL daripada PROSES. Maka tidak heran banyak orang korupsi agar bisa punya uang untuk bisa “membeli” orang-orang dengan uang yang diperolehnya. Yaa ini adalah fakta. Kita sering senang ditraktir oleh “bos”. Lalu siapapun yang royal mentraktir kita, akan selalu kita panggil “bos”, walaupun kita tidak tahu darimana asal uang tersebut … ironis memang!

Seseorang yang ketika menjabat sering royal membagi-bagikan uang, ia akan disenangi dan dikenang oleh para pegawai kecil yang kecipratan uangnya. Padahal sumber uang tersebut berasal dari kegiatan antah berantah yang menzolimi orang lain dan di luar daripada ketentuan resmi yang berlaku.

Gelar tokoh masyarakat bisa diperoleh dengan pencitraan dengan menyewa media massa. Beberapa wartawan masih bisa menerima “amplop” dengan imbalan menayangkan berita tentang tokoh atau lembaga tertentu. Seperti itu pula yang dilakukan oleh media massa yang dimiliki oleh tokoh tertentu dalam membuat idol-idol baru di berbagai bidang. Penghibur dengan suara emas dikarbit dengan acara-acara pencarian bakat yang sudah diseting sedemikian rupa. Ulama atau pendakwah juga bisa diciptakan oleh media massa. Seseorang tiba-tiba saja dilabel sebagai ustadz atau kyai haji, untuk kemudian didorong menjadi pengisi acara keagamaan tertentu.

Gelar guru besar juga demikian. Seorang guru besar yang masih muda, terperosok ke jurang nista karena ketangkap tangan “nyabu” di hotel bersama mahasiswi dan rekan-rekan dosen lainnya. Guru besar semestinya adalah seorang yang telah khatam dalam pengajaran, penelitian dan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Dengan perilaku yang menyiratkan kematangan intelektual dan kepribadian seorang ilmuwan. Mungkin, Guru Besar atau Profesor tersebut memperoleh gelar akadmeik tertinggi hanya dari ukuran-ukuran akademik diatas kertas, namun sikap, perilaku dan nilai-nilai hidupnya masih belum mencapai maqom tertinggi. Akhirnya “hasil” memperoleh gelar Profesor tidak dijalankan melalui kematangan proses, tetapi lebih karena kemampuan lobi dan upeti terhadap pihak-pihak yang terkait dengan pengurusan gelar akademik tersebut. Dan masyarakat kita… masih keranjingan dengan gelar-gelar akademik, yang diterapkan pada hal yang tidak akademik. Seperti dukun tabib yang bergelar doktor, atau pengelola catering yang gelar sebagai haji dan sarjana ekonomi-nya disebut-sebut terus oleh pembawa acara pesta pernikahan. Apa korelasinya masakan enak dengan gelar akademik sarjana ekonomi??? Inilah masyarakat kita…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun