Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berdamai Demi Masa Depan

2 April 2019   17:21 Diperbarui: 2 April 2019   17:38 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terima kasih kawan, akhirnya sampai juga pada titik ini. Satu titik yang mendewasakan diri. Kedewasaan itu pilihan, dan menjadi tua itu adalah kenyataan. Pada akhirnya semua harus berjalan dengan lebih baik dan lebih baik lagi. Apa yang dicari oleh hidup ini menjelang seperempat abad? Sedangkan maut selalu menyambar-nyambar. Seorang mahasiswa memberi kesaksian tentang maut yang tidak memiliki jadwal. Ia datang kapan saja dan pantas saja. Ia yang telah kehilangan, menemukan kedewasaan yang melampaui usianya. Dibalik wajahnya yang polos dan khas milenial, ia menemukan "ilmu mengenali maut."

Sedang aku, masih disini, masih mencari-cari jalan yang benar. Terombang ambing antara berbagai arah. Masih melengkung, belum lurus. Seharusnya mulai mencoba untuk berubah menjadi lebih baik, dengan kondisi yang saat ini penuh tantangan. Kini tidak ada lagi waktu untuk sendiri, karena tanggung jawab semakin besar, walaupun pranata-nya masih terkatung-katung. Antara dua jalan harus diseriuskan, dengan kondisi yang ada. Semoga Tuhan menuntun jalan-Ku untuk berubah menjadi lebih baik dalam versiNya. 

Sebuah kesalahan, demi kesalahan, berakumulasi menjauhkan. Menjauh secara fisik dan psikis. Semua mengeras. Sampai akhirnya mencair. Ada keharuan, ada tangis yang ditahan, dan  lalu keluar juga. Tangisan bahagia, bahwa akhirnya bisa mencair, meleburkan dosa-dosa masa lalu. Meluruhkan kekerasan hati. Sudah saatnya memperbaiki semua yang sudah ditinggalkan, memperbaiki tatanan dan terus berjuang. Menghadapi masa depan yang sedang bertransformasi. Kapal ini, terlalu lama memiliki kemudi yang kecil, dengan badan yang makin membesar. Arahnya tidak beraturan, menyusuri lautan landai dengan pengetahuan kapten abad dua puluh. Maka diperlukan sebuah upaya besar, agar kapal ini bergerak lebih baik, dengan manusia baik, yang memiliki masa depan yang baik. Untuk itu perlu sebuah sistem yang baik, memangkas benalu-benalu yang tumbuh menggerogoti kapal yang belum terlalu tua ini, dan juga tikus-tikus di gorong-gorong geladak.

Untuk itu, perlu berdamai dengan masa depan. Merapatkan barisan. Seseorang yang terlempar dari barisan. Lalu bergerak sendiri membawa etos kerja yang entah baik atau tidak, terus dibawanya. Akhirnya harus memilih barisan. Barisan lama yang tidak pernah benar-benar ditinggalkannya. Karena hatinya masih disana, tapi keadaan yang menjadikannya menjauh. Tuhan, tentu ini atas campur tanganmu jua. Engkaulah yang mampu mengeraskan hati-hati manusia, dan juga melembutkannya. Tuhan, tunjukkanlah aku jalanMu yang penuh penghormatan atas diriMu. Bukan jalan-jalan yang menjauhkanku dengan Mu. Berikanlah aku gharitsah untuk setiap detik menemukan siasat yang sesuai dengan siasatmu. Bukan hanya kata-kata berbusa yang tampa makna dan menghilangkan silaturahim. 

Masa depan tidak pernah tahu ada dimana. Itu adalah rahasiaMu. Aku hanyalah sebiji dzarrah dalam konstelasi ciptaanMu yang gigantik ini. Aku hanyalah menjalani hari demi hari untuk suatu tujuan. TanganMu bisa saja membolak-balikkan segala sesuatu semauMu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun