Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mencari Ukuran Kesuksesan

29 Maret 2018   18:04 Diperbarui: 29 Maret 2018   18:46 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pada satu titik, dalam kehidupan, terfikirkan tentang makna kesuksesan. Kesuksesan pada beberapa dari kita diukur oleh banyaknya harta yang kita miliki. Misalnya sawah, untuk ukuran tradisional. Ketika sawah tergadai kepada orang lain, maka berusaha untuk mengembalikannya, walaupun kemampuan sudah minimal. Dengan alasan, "bisi betaheun " (takut sawahnya/pengelola sawahnya terlalu betah:) ).  Padahal harta bukan ukuran kesuksesan di dunia. Saat mati nanti, yang menemani adalah kain kafan cuma beberapa meter. But it is happen to us. Hubbud dunya. 

Ukuran kesuksesan juga ada pada jabatan. Maka semua tangga dijalani, semua tangan digunakan untuk memperoleh jabatan. Ketika jabatan sudah tercapai, maka kadang harus meninggalkan tangan-tangan itu... katanya itu pengkhianatan, atau kacang lupa kulitnya. Tapi dari sisi pejabat mungkin beda lagi. Wah saya sudah banyak kepentingan, gak punya waktu untuk urusan kecil-kecil seperti itu. Maka demi jabatan semuanya dipertaruhkan. Maka tidak ada yang abadi dalam perpolitikan, di organisasi manapun. Yang abadi adalah kepentingan. Kawan jadi lawan, atau sebaliknya. Maka ketulusan menjadi barang mahal. Pertemanan hanya sebatas say hello.Berfikir jernih, diperlukan untuk mengkontemplasikan diri siapa diri sebenarnya, sedang dimana, mau kemana, dalam pusaran waktu dan permainan nasib. 

Seorang teman yang bijak, menuliskan status tentang kesuksesan di laman sosial medianya. Bahwa kesuksesan itu ukurannya sederhana saja, bukan materi, bukan jabatan, atau kesohoran tertentu. Harta  bisa berbeda-beda kadarnya pada setiap orang. Demikian pula dengan hirarki jabataan yang dimiliki sepanjang hidup. Di usia yang sudah kepala empat, masih menjabat sebagai kepala bagian, selain sebagai pendidik, tentu adalah jalur hidup yang harus disyukuri. 

Mengutip status teman tadi. Bahwa kesuksesan it ada pada kualitas diri yang baik, dan bagaimana kualitas diri tersebut dapat berdampak bagi lingkungan sekitarnya. Fenomena media sosial saat ini, kadang tidak dmanfaatkan dengan baik sebaik-baiknya. Bukannya jadi wahana silaturahim, malahan menjadi sibuk untuk membicarakan orang lain yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan kita pribadi. Ngapain susah-susah ngebahas jkw, anis, prabowo, rk, de el el, jika diri kita sendiri belum cukup berkualitas? 

Kualitas hidup dan kesuksesan adalah relatif pada setiap orang. Tuhan sudah menggariskan guratan nasib masing-masing. Tidak usah ngiri melihat junior sudah membawa mobil pribadi, sedangkan diri masih bermotor ria. 

Kesyukuran nikmat perlu dipertahankan, jangan sampai menjadi kufur nikmat. Daripada besar pasak daripada tiang, lebih baik sederhana tapi ada. Ketika perlu cepat ada, ketika tidak cukup dana, nikmati yang ada. Bahkan para filsuf dan pujangga pun perlu didengar fatwanya, bahwa hidup itu mencari Tuhan. Mencari Tuhan itu bukan pada gelimang harta, tetapi ia ada di kalangan kaum papa. Jadilah elang dan jadilah gaul, serta nikmati hidup berkualitas dan sukses, bukan dengan ukuran duniawiyah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun