Berkendara di Jakarta semakin lama semakin suseh. Pakai motor bisa cepat, dengan segala resikonya. Pakai mobil - bagi yang punya - nyaman, tetapi waktunya bisa lebih lama daripada roda dua. Dan biaya, yang lebih tinggi tentunya. Naik busway bisa nikmat, jika jalurnya disapu bersih. Jika jalurnya bebarengan, sama aje.Naik kereta api nyang namanye KRL, alternatif baik. Tapi tak semua jalur bisa ditembus. Siap-siap dengan kepadatan yang aduhai.Â
Transportasi daring adalah kreatifitas baru, menggairahkan bisnis, dengan cara disruptif. Mematikan angkot, membuat taksi mulai sekarat. Ini masalah kebijakan antara kebutuhan dan pasar yang ada. Ojek pangkalan sedikit yang bela. Ke Chiang mai bulan lalu. Disana tak ada transportasi daring. Karena emang kota wisata. Pemerintah punya kuasa. Demi suburnya kaum pribumi. Chebu Filipina pernah kukunjungi, transportasi daring muncul di bandara. Demikian pula di jiran Malaysia-nya Johor.Â
Ada idea tentang sharing berkendara. Ide bagus tapi pikirkan keamanan dan kriminalitas ibukota. Jumlah polisi dan CCTV kota kita. Ide elit yang belum belajar sosiologi perkotaan. Okeelah kalau begitu. Mari naik motor pulang ke rumah. Menembus sore menjelang malam, agar hindari keriuhan motorist.
Marilehtunggu LRT dan MRT. mudah-mudahan jadi solusi. Katanya jelang Asian Games akan tandang. Semoga. Pesta olahraganya kita sambut dengan pesimis, karena emang yang ngurus kebanyakan, prestasi nomor ke berapa jadinya. Mudah-mudahan jadi kenyataan, Jakarta yang mudah berkendara. Nyaman bagi semuanye. Mudah-mudahan gubernur baru nyang punya konsep akademik, bisa menerapkannya ke lapangan.