Saya pernah duduk di ruang rapat, jadi "hakim" antara HRD dan manajer divisi. Di meja: tumpukan CV, hasil tes, dan satu kandidat yang bikin debat makin panas.
Kata HRD, "Kandidat A ini punya energi Gen Z. Positif. Adaptif. Potensial."
Tapi si manajer divisi hanya menghela napas. "Nggak cocok. Kita butuh orang yang langsung ngebut. Bukan yang masih belajar jalan."
Saya tidak ikut debat.
Tapi dalam hati saya tahu: ini bukan tentang kandidat A.
Ini soal dua pihak yang tak saling dengar, tak saling percaya, dan akhirnya saling menjatuhkan.
Dan ini bukan pertama kali terjadi.
--- ---
Saya sudah 20 tahun memimpin perusahaan. Rekrutmen bukan sekadar pilih orang pintar. Tapi pilih orang yang pas buat tim, buat kultur, buat visi. Dan ini hanya bisa terjadi kalau HRD dan User mau duduk bareng sejak awal.
Masalahnya?HRD merasa paling ngerti manusia, pakai tes psikologi, AI, dan scoring system.
User merasa paling tahu medan, karena merekalah yang nanti kerja bareng.
Siapa yang salah?
Tidak ada. Tapi kalau dua-duanya saling benar sendiri, yang salah adalah hasil akhirnya.
--- ---
Tim saya sekarang didominasi Gen Z. Mereka bukan sekadar anak baru. Mereka membawa standar baru.
Dulu, karyawan bangga kerja sampai malam. Sekarang, Gen Z tanya, "Apa impact-nya? Worth it nggak?"