Mohon tunggu...
Aan Hasanudin
Aan Hasanudin Mohon Tunggu... Penulis - Senang bercengkrama denganmu

Anak Desa yang bermimpi besar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

KETIKA MUBALIG IKUT MERAWAT KEMISKINAN

19 September 2020   00:10 Diperbarui: 19 September 2020   14:31 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat malam Kompasianer yang budiman, semoga sehat selalu di tengah Pandemi global yang tak kunjung usai. Corona telah menewaskan ribuan manusia dan tentunya mengganggu kestabilan ekonomi Regional dan Internasional. Terdengar kabar PHK menghampiri para buruh, sebuah mimpi buruk di tengah ketidakpastian kapan berakhirnya musibah ini.

Kesenjangan sosial semakin memperburuk situasi dimana tidak semua sektor pekerjaan bisa menerapkan work from home. Sektor pekerjaan yang sudah mapan mungkin bisa beradaptasi dengan peralihan dari kerja tatap muka menjadi virtual, namun bagi pekerjaan-pekerjaan dengan penghasilan harian sudah pasti work from home mustahil untuk dilakukan. Sehingga mau tidak mau mereka tetap bertarung mencari nafkah dengan resiko berdampingan dengan virus. Apresiasi tertinggi dari penulis untuk para pekerja yang sejak masih sedikitnya orang terpapar sampai pemerintah resmi mendapatkan Silver Corona Button untuk jumlah terpapar Corona tetap harus keluar rumah.

Tujuh puluh lima tahun Indonesia merdeka, masalah kemiskinan memang menjadi tantangan bangsa ini. Tercatat tujuh kali pergantian Presiden belum mampu membawa Indonesia kepada kesejahteraan yang merata. Misi untuk menuntaskan kemiskinan sudah seharusnya menjadi tugas berbagai pihak. Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan memang pihak yang paling bertanggung jawab dalam mengemban misi menuntaskan kesenjangan sosial. Namun penulis tidak hendak mengkritisi Pemerintah yang memang sudah menjadi rahasia umum seringkali mengecewakan rakyat. Mungkin di tulisan selanjutnya akan lahir kritik penulis untuk pemerintah. Berawal dari bacaan penulis dalam buku “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, di halaman 89 terdapat bab yang menarik dengan judul “Islam Setuju Kemiskinan?”

Bab dalam buku kumpulan tulisan Gus Dur itu mampu mengusik pikiran saya sebagai pembaca. Sedikit informasi, buku Tuhan Tidak Perlu Dibela merupakan sebuah himpunan dari kolom tulisan Gus Dur di berbagai media masa. Isinya random saja tapi dalam satu tema pembahasan yaitu mengenai Islam. Dalam bab “Islam Setuju Kemiskinan” menceritakan tentang seorang akademisi yang diundang dalam seminar di sebuah Pesantren di Sumenep, Madura untuk membahas persoalan keumatan. Akademisi yang juga seorang peneliti tersebut mengajukan sejumlah argumentasi untuk persoalan memberantas kemiskinan yang melanda umat. Lontaran argumentasi seperti “Manusia adalah makhluk paling mulia diantara ciptaan Allah sehingga tidak layak jika ia berada dalam garis kemiskinan, dan karena kemuliaannya ia menyandang gelar sebagai Khalifah Fil Ardh atau wakil Tuhan di bumi. Bukankah perwujudan makhluk sempurna itu menuntut adanya dukungan materiil sebagai kebutuhan manusia sendiri. Bukankah dukungan materiil itu hanya dapat diperoleh dari kehidupan serba berkecukupan atau kehidupan berkualitas tinggi.

Rentetan argumentasi sang akademisi tersebut ternyata mendapat respon yang kurang bagus dari kalangan Santri. Protes terjadi selama kegiatan seminar tersebut berlangsung, dan tentunya membuat sang akademisi bersedih setelah mengetahui maksudnya sebagai bagian dari upaya membantu umat dalam memberantas kemiskinan justru mendapat respon negatif dari kalangan yang ia harapkan akan mengambil peran dalam usaha meningkatkan derajat hidup umat Islam.

Keyakinan mengenai takdir ada di tangan Allah membuat argumentasi sang akademisi yang sekilas seolah mendiskreditkan orang miskin dalam posisi salah ditolak mentah-mentah. Bahkan sang akademisi di’Komuniskan’ audiens dengan alasan pengingkaran terhadap rukun keenam dalam ortodoksi Islam. Sang akademisi dianggap melawan ketetapan Tuhan. Bentrokan pandangan dalam melihat kemiskinan menjadi unik karena keduanya baik pihak Akademisi dan Santri sama-sama mempunyai konstruksi berpikir sendiri. Akademisi yang melihat sesuatu dari realitas kehidupan dan Santri dengan pegangan dalil-dalilnya. Keduanya tidak ada yang salah, hanya saja kesalahpahaman dalam mencerna pandangan yang diajukan membuat konflik kecil itu terjadi. Kisah ini yang membawa penulis kepada realitas kehidupan yang dihadapi selama ini.

Dalam kultur masyarakat desa, kiyai menempati strata sosial paling atas. Penghormatan tertinggi disematkan kepada sosok yang dianggap sebaga role model dalam beragama (read:Islam). Kiyai merupakan sebutan dalam bahasa Jawa yang berarti “Guru” atau “Tuan Guru” sebagai gelar kepada tokoh agama. Walaupun sekarang istilah tersebut mulai di-Arabkan menjadi Ustadz atau Syaikh. Sebagai orang yang sejak lahir tinggal di pedesaan dan dengan masyarakat homogen, semua Islam, sudah barang tentu peringatan hari besar Islam (PHBI) sering diadakan di tempat tinggal penulis. Kadangkala penulis ikut dalam kepanitiaan PHBI tersebut. Kegiatan PHBI biasanya mengundang Mubalig sebagai bagian inti dari rangkaian kegiatan, yaitu tausiyah agama. Acara tausiyah agama tersebut selalu disambut antusias masyarakat. Ratusan orang selalu memadati tempat diadakannya kegiatan keagamaan tersebut. Tua, muda, laki dan perempuan turut hadir untuk mendengarkan sang Mubalig menyampaikan dakwah. Rangkaian acara yang lazimnya sampai larut malam tak menyurutkan antusias para hadirin, semakin malam semakin asyik katanya.

Namun ada satu hal yang mengusik pikiran penulis, yaitu mengenai muatan dakwah. Muatan isi memang menyesuaikan tema acara, tapi ada satu hal yang dari tahun ketahun selalu disampaikan oleh para Mubalig itu, yakni mengenai sikap dalam memandang harta. Kalimat-kalimat doktrinal seperti “Orang miskin hisabnya cepat, sehingga kalau amal baiknya lebih berat maka cepat masuk surga dibanding orang kaya”, atau “Harta tidak dibawa mati, mau miskin mau kaya tetap rumah terakhir adalah liang kubur”, dan kalimat-kalimat lainnya yang pada intinya adalah agar kalangan masyarakat yang memang berada dalam kategori ekonomi lemah itu menerima keadaan. Jarang sekali dalil-dalil penyemangat seperti “Tidaklah Allah mengubah keadaan suatu kaum, selama mereka tidak mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri” dibawa dalam dakwahnya. Fakta bahwa manusia adalah makhluk yang diberi keistimewaan dapat menentukan jalan hidupnya sendiri mungkin lebih baik disampaikan supaya golongan masyarakat ekonomi lemah bisa terbangun motivasinya dalam mengejar harta. Memang ada sisi buruk dari harta jika tidak dikelola dengan benar, tapi bukankah Muslim yang kuat lebih disukai dibanding Muslim yang lemah, salah satunya adalah kuat dalam harta. Bukankah sedekah juga akan lebih ringan jika umat muslim kuat dalam hartanya. Daripada menyampaikan kisah Qarun yang ditelan bumi karena hartanya bukankah lebih baik menyampaikan kisah Abdurrahman bin Auf yang merupakan saudagar kaya nan dermawan. Kisah kesederhanaan Rasul juga lebih sering disampaikan dibanding fakta lain bahwa Rasulullah adalah pengusaha sukses pada zamannya.

Mungkin para mubalig itu menyampaikan pandangan lain mengenai harta ketika yang dihadapi adalah masyarakat ekonomi menengah, atau menengah atas. Tapi dengan rasa hormat yang begitu tinggi dari masyarakat desa terhadap Mubalig, mungkin akan terbawa motivasi ketika golongan ekonomi bawah diberi pandangan lain mengenai harta. Jangan hanya dari sisi buruknya, tapi dari kekuatan harta tersebut jika dinafkahkan di jalan Allah akan membawa manusia pada kebahagiaan pula. Kadang penulis berpikir, sudah susah ditimpa masalah ekonomi ditambah pula konsepsi keagamaan yang membuat umat Muslim anti dalam mengejar harta. Dewasa ini biaya hidup serba mahal. Pendidikan yang menurut Nelson Mandela sebagai senjata paling ampuh untuk mengubah dunia pun, mahal biayanya. Uang memang bukan segalanya, tapi di era industri segalanya butuh uang. Islam sudah sempurna, penulis meyakini Islam mempunyai konsep yang bagus mengenai harta. Penulis sepaham dengan pandangan mendiang Gus Dur yang beranggapan agamawan harus pula terlibat dalam pemberantasan kemiskinan. Kiyai, Ustadz, Syeikh atau apapun itu adalah sosok yang dihormati dan diikuti, kalangan Grassroot harus mempunyai optimisme dalam upaya merubah kualitas hidup. Sebab bagaimanapun juga, tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah. Terlahir miskin bukanlah kesalahan, tapi akan menjadi kesalahan jika konstruksi berpikirnya pun pasrah terhadap keadaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun