Mohon tunggu...
AANG JUMPUTRA
AANG JUMPUTRA Mohon Tunggu... Freelancer - Admin Social Media
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menyajikan konten yang cerdas, terupdate, dan terlengkap

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Daerah Tertinggal dan Problem Utama Pendidikannya

8 Mei 2020   19:15 Diperbarui: 8 Mei 2020   19:24 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
JC Tukiman Taruna Pengajar Community Development Planning | dokpri

Baru saja terbit Peraturan Presiden No 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal 2020-2024. Berdasarkan Perpres ini, ada 62 kabupaten termasuk/disebut daerah tertinggal. Ketertinggalan suatu daerah ditentukan oleh 6 (enam) kriteria utamanya, yakni perekonomian masyarakatnya, sumber daya manusianya, sarana prasarananya, kemampuan keuangan daerahnya, aksesibilitasnya, dan karakteristik daerahnya.  

Ada 7 (tujuh) daerah tertinggal (dari 62 itu) ingin saya jadikan bahan pembahasan dalam tulisan ini, terutama tentang masalah pendidikannya karena saya relatif mengenal daerah-daerah itu sehubungan dengan kegiatan penelitian yang pernah saya lakukan di situ.

Fokus penelitian di 5 (lima) daerah tertinggal di pulau Papua, dan di  2 (dua) daerah tertinggal di pulau Sumba sama, yakni tentang pelayanan pendidikan dasar di masing-masing daerah itu. Simpulannya pun ternyata sama, dan menggunakan 6 (enam) kriteria untuk menentukan daerah tertinggal tadi, kriteria sumber daya manusia, sarana-prasarana, dan aksesibilitas adalah pokok permasalahan pendidikan dasarnya.

Satu hal sangat membesarkan hati dan membanggakan dari 7 (tujuh) daerah tertinggal itu ialah semangat membajanya untuk  "menjadi kabupaten" yang setara dengan kabupaten-kabupaten tua/lama. Perlu diketahui, beberapa kabupaten dari 7 (tujuh) itu adalah kabupaten yang terhitung baru, seperti Supiori, Sorong, Sorong Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya; bahkan masih ada kabupaten yang sedang dalam proses memiliki gedung sebagai pusat pemerintahan. 

Namun, sekali lagi, semangat untuk mengejar ketertinggalan sangat tinggi, termasuk semangat tinggi dalam mengejar ketertinggalan di dunia pendidikan dasar. Sebagai contoh, kabupaten Supiori adalah "anak" yang terlahir dari Biak Numfor, terdiri dari pulau-pulau dan pasti sudah dapat dibayangkan betapa problem aksesibilitas di daerah tertinggal itu harus sangat-sangat diprioritaskan. 

Ketersediaan segala jenis perahu menjadi sangat mendesak, bukan saja untuk hilir-mudiknya para guru dari rumahnya ke sekolah layanannya, bahkan para peserta didik pun juga hilir-mudik dari satu pulau ke pulau lainnya untuk menempuh pendidikannya. Aksesibilitas sangat terkait dengan sarana-prasarana, dan dalam konteks karakteristik daerah, Supiori menjadi sangat spesifik, karena aksesibilitas lewat laut dan lewat daratan sama-sama mendesak untuk tercukupi sesegera mungkin.

Contoh lain ada di kabupaten Sumba Barat Daya (SBD). Potensi wisata dan hasil pertanian mete sangat nyata di kabupaten ini; namun demikian, -terjadi di 7  (tujuh) kabupaten- , ketersediaan listrik dan sinyal sangat-sangat mendesak. 

Untuk kabupaten SBD listrik harus segera menjangkau sampai pelosok kecamatan Kodi misalnya, menyusul setelah itu ketersediaan sinyal agar program-program pendidikan secara on line sebagaimana diimpikan oleh Kemendikbud segera merata sampai ke pelosok mana pun. Jalan antar kecamatan selayaknya juga diprioritaskan, dan menyusul sesudah itu jalan antar desa ke desa.

Bagaimana ketersediaan guru di 7 (tujuh) daerah tertinggal itu? Jangan bertanya tentang kurangnya tenaga guru di daerah tertinggal semacam itu, -karena pasti kurang- , dan itupun menjadi permasalahan sangat pelik di daerah-daerah itu, yakni: ketersediaannya sudah kurang, guru yang ada dan mau mengabdi di sana, sebagian besar "terkonsentrasi" di ibukota kabupaten atau kecamatan-kecamatan. Bagaimana ketersediaan guru di sekolahan yang ada di pelosok desa bahkan gunung sana? Harus puas dengan adanya dua atau tiga guru di situ, jangan berharap lebih dari itu. 

Pertanyaannya, mengapa ketersediaan guru-guru cenderung terkonsentrasi di ibukota kabupaten atau kecamatan-kecamatan? Sarana-prasarana ke/di desa atau gunung itu memang tidak menarik minat "orang luar" untuk mengabdi dan tinggal di situ, entah sebagai guru, entah sebagai kepala sekolah, termasuk pengawas pun kurang tertarik padahal hanya sesekali ke sana. 

Terobosan terbaik untuk menjangkau desa-desa pelosok itu ialah perlu ada sejumlah angkutan desa yang reguler melayani dari satu titik kumpul ke titik kumpul selanjutnya; yakni angkutan desa yang melayani dari titik kumpul di ibukota kabupaten sampai ke titik kumpul di kecamatan; dan dari titik kumpul di kecamatan dilayani lagi angutan desa yang menyebar dari titik kumpul kecamatan ke desa-desa yang ada sekolahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun