Dalam perspektif akademisi, Idul Fitri bisa dipandang sebagai hari diwisudanya seorang sarjana. Umumnya hari wisuda diekspresikan dengan kegembiraan, syukuran dan pesta kecil-kecilan. Padahal sesungguhnya setelah wisuda adalah momen-momen pembuktian atas belajar selama beberapa tahun ( kuliah ).
Artinya ilmu yang selama ini dipelajari di bangku kuliah harus didayagunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Oleh karena itu, Idul fitri bukanlah tanda hari yang setelah itu kita bebas berbuat apa saja namun idul fitri adalah hari peningkatan kualitas diri. Hari dimulainya kita bisa mengambil pelajaran puasa.
Setiap muslim yang berhasil memetik makna ibadah puasa Ramadhan tentu akan menampilkan dirinya sebagai sosok yang selalu mencerminkan akhlak yang mulia. Iapun juga belajar alarm "innishoimun" sebagai pengingat kesadaran akan kemaksiatan. Misalnya berkata kasar, bohong, mencela dan menipu. Dalam fikirannya akan muncul kesadaran untuk menolak.
Puasa adalah bekal belajar mengekang hawa nafsu. Seperti kita ketahui bahwa perang terbesar manusia adalah perang melawan hawa nafsu. Itu artinya laku puasa seharusnya berlaku tidak hanya pada Bulan Puasa namun berlaku seterusnya meskipun jangan diartikan harus berpuasa menahan makan tetapi goalnya puasa harus kita pertahankan yakni menahan hawa nafsu. Jalan masih panjang dan perang melawan hawa nafsu belum berakhir.
Beridul fitri juga berarti kembali ke fitrah sebagai manusia. Kembali sadar akan perannya sebagai hambaAllah dan Khalifatulloh. Dan menemukan jatidirinya yang mendambakan : Kebenaran, Kebaikan dan Keindahan. Kesemuanya ini adalah usaha mencapai rahmatanlill'alamin. Rahmat bagi seluruh Alam bukan hanya untuk muslim saja.