Mohon tunggu...
Em Amir Nihat
Em Amir Nihat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Kecil-kecilan

Kunjungi saya di www.nihatera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Membasuh Air di Langit

13 Desember 2018   21:08 Diperbarui: 13 Desember 2018   21:12 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kenangan seindah apapun itu hanyalah goresan pengalaman didalam lembaran buku yang bernama waktu. Tentu kita faham bahwa yang paling penting sekarang bukanlah bergalau ria dan merenung dengan berlinang air mata, tetapi bagaimana kita bisa mengisi hari ini saat ini yang berharap nasab indahnya sama meskipun nasibnya berbeda ; kita isi hari ini dengan keindahan agar kelak ketika senja umur menjadi cerita yang elok." Ungkapan apik dari Fermando masih terngiang-ngiang di kepala Jenob. Ia pun bangkit dari sebagian upacara galaunya di tepian malam ini.

Ia berujar,

"Sebagai lelaki jangan kalah dengan kenangan! Manfaatkan kenangan sebagai pelajaran dan jangan sampai kita dijajah oleh kenangan!"

Dari balik layar televisi terpampang iklan kecantikan ; tentu jangan kaget kalau biaya kecantikan manusia modern bisa lebih mahal daripada biaya urusan perut.

"Lihatlah itu, Nob. Lihatlah artis cantik blasteran itu. Biaya dandannya lebih mahal daripada biaya perutnya hanya demi membahagiakan bagian tubuh bawah perut lelaki ia rela berlaku demikian ; katanya sih gengsi dan glamor." Sambil menunjuk televisi Fermando nyinyir walaupun nafsunya menyisir

"Buat apa kecantikan fatamorgana. Kalau yang dikejar adalah citra yang bersumber dari tubuh maka alangkah takutnya perempuan pada umur yang semakin tua. Keriput dan uban adalah penjajah yang menakutkan bagi perempuan yang menghamba pada tubuh. Padahal kecantikan abadi hanya bisa diciptakan dengan budi." Jawab Jenob dengan nada sok idealis

Males dengan acara televisi, Jenob cabut kabur menuju Masjid sebab adzan berkumandang memanggil.

"Gua empat rekaat dulu!"

Adzan yang aslinya bertujuan memanggil umat untuk sholat berjamaah akhir-akhir ini kehilangan hakekatnya sebab muadzin sibuk belajar lantunan merdunya tetapi kesadaran mengundang telah hilang. Alangkah indahnya jika suara merdu itu juga dibalut kesadaran tujuan beradzan yakni rasa mengundang.

Sesampai di Masjid, Ia tak melihat preman, dan anak-anak jalanan. Ia melihat masjid hanya diisi orang yang sudah tua dan anak-anak kecil yang asyik bermain. Dimanakah pemuda-pemudi ?

Selang beberapa menit kemudian Jenob pergi ke pasar sambil membawa air bening yang ia masukan ke dalam plastik. Lalu ia berikan air itu kepada preman dan anak-anak jalanan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun