Mohon tunggu...
A A Kunto A
A A Kunto A Mohon Tunggu... Penulis - CoachWriter | CopyWriter

AA Kunto A | Penulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Algoritma Bidding Versus Algoritma Kidding

30 Maret 2017   20:04 Diperbarui: 30 Maret 2017   20:35 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan, saya melakukan gerakan yang “melawan gravitasi”. Saat banyak orang tergila-gila dengan “algoritma bidding” dengan mesin, saya melakukan sebaliknya: tanpa mesin.

Algoritma bidding populer di kalangan digital marketers. Ia semacam rumus pembacaan digital untuk mengenali pengguna internet: siapa suka apa, siapa ngapain aja, di mana siapa suka ngapain, kapan siapa ngapain, apa alasan siapa melakukan apa, dst. Algoritma bidding membantu siapa saja untuk menjangkau siapa saja secara tepat dan otomatis. Komentar dari penerima pesan, “Kok iklan ini tahu banget aku lagi pengen ini ya?” atau, “Sama-sama buka halaman yang sama tapi kok iklan yang tampil di layar temanku beda dengan yang tampil di layarku ya...” sudah bisa ditebak pasti umpan baliknya.

Sambil terus mengagumi bagaimana mesin bisa menjadi utusan pesan yang semakin personal dan presisi, saya berkaca: lalu aku bagaimana? Pertanyaan untuk diri sendiri ini bertujuan mengingatkan diri sendiri apakah dengan kehadiran mesin kemudian saya kehilangan “teknologi menyapa” yang mesinnya ada di dalam diri saya?

Sembari mencari tahu jawaban itu, saya melancarkan gerakan yang teramat jadul (jaman dulu): menyapa teman-teman saya satu per satu. Seperti tulisan ini, saya menyusun cerita dengan berbagai topik, lalu saya sebarkan hanya kepada teman-teman saya melalui WA. Menyebarkannya pun bukan dengan tool “broadcast”, melainkan satu per satu.

Tujuan sederhananya hanya “tes kontak”, yakni mengetahui nomor mana saja yang masih melekat pada si empunya. Tanda centang-dua biru menandakan nomor masih aktif dan si pemilik sudah membuka pesan saya. Tanda centang-dua hitam menandakan nomor masih aktif dan si pemilik belum membuka pesan saya. Tanda centang-satu hitam menandakan nomor sudah tidak aktif, atau nomor saya terblokir olehnya. Tak jadi soal mau yang mana pun, yang terang dengan pesan ini saya mau menyampaikan kabar, “Saya masih hidup.”

Tujuan lebih dari sederhana adalah bertegur sapa. Di benak saya ada nama. Saya mengingat nama-nama itu satu per satu sembari membayangkan orangnya, mengingat interaksi yang sudah pernah terjalin, dan menegaskan betapa penting sosok itu sebagai teman saya. Begitu algoritma di otak saya.

Untuk itu, saya bikin tulisan dengan tema spesifik, yang hanya cocok untuk penerima pesan saya. Jika mau mereka “share”, tulisan saya itu hanya pas dibagikan kepada teman lain yang lebih-kurang senada seleranya. Kali ini saya tidak menulis untuk disebarluaskan seluas-luasnya, sebagaimana kalau saya menulis di aakuntoa.com, solusiide.com, atau dokudoku.id. Pun tidak memaksudkan tulisan saya menjadi viral di media sosial.

Kali ini saya menulis “untuk kalangan terbatas”. Ukuran keberhasilan saya sederhana: penerima membalas pesan saya. Ada yang sekadar mengacungkan jempol, ada yang mengucapkan terima kasih, dan ada yang kemudian melanjutkan dengan percakapan. Tanggapan apa pun saya balas. “Wah, jempolnya besar-besar, tanda rejekimu makin besar, Bro!” Langsung berjawab, “Amin... Piye kabarmu, Kun?”

Umumnya, ini harapan saya yang tak lagi sederhana, percakapan kami berlanjut ke pembaruan informasi tentang apa yang kami masng-masing sedang dan akan kerjakan hingga peluang kerja sama apa lagi yang bisa kami jalin. Pengalaman mengajarkan, terkhusus untuk pekerjaan saya di dunia menulis, pelatihan, dan coaching, “bisnis” kerap terjalin dari pertemanan. Undangan-undangan pelatihan banyak datang dari teman, atau setidaknya berkat referensi dari teman. Sangat jarang dari orang yang sama sekali baru.

Teman-teman itu mengundang saya karena mereka mengingat saya. Ingatan yang terutama adalah relasi personal, baru kemudian kompetensi profesional. Ingat nama, baru ingat profesi.

Sadari itu, saya pun selalu mengingat untuk menyapa mereka secara personal, seperti sekarang. Saya mengingat teman-teman itu pertama-tama adalah nama, baru kemudian informasi ikutannya: pekerjaan. Saya percaya, dengan mengingat nama, menyapa nama, dan berinteraksi karena nama, hubungan pertemanan lebih awet. Kalau pun ada tendensi bisnis “eh, bro, kalau perusahaanmu mau bikin pelatihan ‘report writing’ kabari aku ya’, karena bukan itu yang terutama, umumnya teman-teman saya tidak menolak berbalas sapa. Malah sebaliknya, lebih sering, teman-teman yang mendului, “Wah, Kun, makin luas aja jangkauan pelatihanmu. Masih ada waktu kan kasih pelatihan lagi di tempatku?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun