Mohon tunggu...
Aura
Aura Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja lepas

Menulis supaya tidak bingung. IG/Threads: aurayleigh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ketika Dia Seekor Beruang

28 November 2022   10:24 Diperbarui: 6 Desember 2022   21:02 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Jennifer Mezquita (https://id.pinterest.com/jennifermezquit/) via Pinterest

Sesudah jadi seekor beruang madu, kehadirannya jadi lebih menyenangkan. Dia mengisi energi di dalam diriku sampai level maksimal. Selelah apapun tubuhku, dia akan menyembuhkannya. Dia bersikap seperti sebuah generator besar yang kuat. Di dekatnya, sekeras apapun mencoba, aku tidak pernah bisa tidur. Aku tak kenal rasa ngantuk dan lelah. Aku mandi, membaca buku, makan sampai kenyang, tetap tak membantu. Sementara dia? Dia paling suka tidur. Selalu kupandangi wajahnya sembari membiarkan diri dirasuki gelombang energi yang datang dari situ.

Ketika dia seekor beruang, dia bicara lebih bijaksana daripada ketika sedang berwujud manusia. Bukan berarti aku adalah si pencari kebijaksanaan, tapi hanya ketika itulah dia akan membuka ruang pada pupil matanya. Aku bisa dengan leluasa menatapnya sambil rebah di relung-relung tatapan yang rasanya sengaja disediakan untukku. Seperti suatu malam, ketika dia seekor beruang, kami berdiskusi tentang prinsip dan komitmen hidup, tentang konsep kalah dan mengalah, atau tentang takaran kebaikan yang seringkali meluber tumpah dan justru menghanyutkan banyak hal baik. Nyaman sekali membincangkan tema-tema yang mustahil terjadi jika dia sedang menjadi manusia.

Malam itu, pelayan menyiapkan makanan untuk kami: sebaskom tunas palma dan buah-buahan untuknya, sepiring nasi dengan bayam dan ikan goreng untukku. Di bawah atap itu, bicara soal kehidupan menjadi semarak, apalagi dengan kabut cahaya warna-warni berpendar di sekitar tubuhnya---yang akan hilang ketika dia sudah menjadi manusia lagi.

Ketika dia seorang manusia, dia jauh tak terengkuh. Bukan lautan di antara pulau-pulau yang memisahkan aku dan dia, melainkan teror waktu pada hidup kita. Bekerja telah menjadi aktivitas sakral di dalam lini masa. Di kota besar, kalau tak bekerja, kau hampir bukan manusia. Menunggu untuk pertemuan berikutnya antara aku dan jelmaan beruang itu hanya membuang waktu bekerja, membuang kemanusiaan. Kuterima saja dengan gembira kalau dia tiba-tiba ada di dekatku. Yang penting, dia sudah menjelma seekor beruang, bukan manusia yang selalu bergegas dihantui pertanyaan apakah lebih menguntungkan jika aku melakukan itu dan bukan ini?

Kenyamanan dengannya mungkin merupakan hal paling berkesan di antara seluruh dalam hidupku. Jika sedang rindu, aku bermimpi tenggelam dalam bulunya yang empuk. Di situ, kami boleh bicara tentang apa saja tentang diri kita masing-masing. Ketika itulah aku merasa betapa sulit menjadi manusia. Sulit mengutarakan hal yang sungguh menggambarkan aku; hal yang sebetulnya aku inginkan. Manusia selalu mempertimbangkan bagaimana orang lain bereaksi dan merasa. Sepertinya lebih nikmat menjadi beruang.

"Kamu hanya merasa tidak enak. Kamu hanya kasihan. Coba bayangkan jika sepanjang hidupmu dikendalikan oleh rasa itu," dia berkata sambil tersenyum simpul dan sombong seolah-olah mengetahui seluruh isi dunia.

Selepas mimpi-mimpi sarat kerinduan macam itu, ketika bangun, aku mendapati dia tak ada di mana-mana. Aku tak pernah sengaja mencari. Kota bergerak terlalu cepat. Kepentingan-kepentingan bertabrakan satu sama lain sehingga manusia dirundung masalah serta duka berhari-hari. Aku akan tertinggal kalau cuma sibuk mencari kenyamanan. Aku harus bekerja dan fokus membiayai hidupku. Apalagi ketika itu, aku sedang sibuk mengerjakan pesanan desain rumah seorang purnawirawan.

Rumah itu berukuran tidak terlalu besar, terletak di kaki bukit yang berjarak cukup jauh dari rumahku di pusat kota. Purnawirawan itu ingin membuat kolam ikan dan rooftop yang nyaman---tempat ia bisa melihat langit lebih dekat, katanya. Ia hendak memasang teropong bintang astronomikal miliknya di sebuah pojok, yang sudah kugambar dengan baik di cetak biru.

"Bapak suka melihat bintang?"

"Tidak, saya bosan melihatnya. Di mana-mana ada, bahkan tanda kepangkatan saja pakai bintang." Ia terkekeh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun