Mohon tunggu...
Rudi Handoko
Rudi Handoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Status Kawin

30 April 2016   19:55 Diperbarui: 30 April 2016   20:03 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di dalam Kartu Tanda Penduduk bin KTP atau Identity Card kata orang putih... Di negeri ini, ada kolom yang memuat status perkawinan. Entahlah kalau di negeri lain. Mungkin penting, sehingga status kawin belum kawin ini dimuat, supaya mengetahui kalau yang dah kawin tak boleh mengaku bujang atau dara. Hehehe... Gurau jaa. :-)

Perihal status kawin atau menikah... Di kampong saya, kawin dan nikah kurang lebih sama maknanya, walaupun ada yang mengkritik kalau menikah tuu lebih tepat, kerna itu dia ada aqad ijab qabul dan segala prosedurnya sesuai syariat. Sedangkan kawin tuu ehwal hubungan suami isteri saja. Haaa... :-)

Dalam senda gurau di masa kini, status kawin atau nikah ini seringkali digunakan untuk 'menyindir' atau mengolok bagi para pihak yang belum kawin di antara sesama kawan. Misalkan, begitu dah selesai studi, trus bertemu dengan sanak saudara atau sesama  kawan, kebetulan ada yang belum kawin, maka munculla tanya, "Bila nak kawin/nikah, Bro?" Atau bila berjumpa di majelis pertemuan keluarga atau di hari Raya, saudara-saudara yang lain dah kawin dan punya anak, maka yang belum kawin akan jadi sasaran, "Yang lain dah berpasangan dan membawa anak, engkau bila nak kawin?" Mungkin, sungguh ngilu rasa hati bagi yang masih (mem)bujang atau dara untuk menjawabnya.

Lebih daripada itu, status kawin di beberapa daerah dan kampong, masih jadi 'persyaratan tak resmi' untuk hal ehwal yang bersifat dan berhubungkait kedengan adat, tata pergaulan dan perhubungan sosial. Sebab status dah kawin atau belum kawin menjadi salah satu timbangan untuk memposisikan kedudukan seseorang di dalam masyarakat. Misalkan, jika nak tunjuk orang jadi Imam, syarat pemahaman ilmu agama, kealiman, usia dan kedewasaan, tempat bermastautin/tempat tinggal (bermukim) dan lainnya, menjadi timbangan layak tidaknya. Maka dah kawin belum pun jadi penilaian juga. Begitupun, jika ada orang mengadakan majelis perkawinan, maka di dalam kaum keluarga itu, mereka yang dah kawin dapat porsi lebih besar sikit peranannya, semisal untuk yang berperan sebagai penerima tetamu, jadi juru hidang jamuan dan sebagainya. Sedangkan yang bujang, cukup jadi tukang angkat-angkat, bahkan penggembira belaka. Begitupun, kalau ada acara kenduri atau ruahan beselamatan, biasanya posisi tempat duduk yang dah kawin, bujang, anak-anak berbeda. Yang dah kawin duduk sama-sama yang dah kawin, bujang sesama bujang, anak-anak sesama anak-anak, kecuali ada status sosial lain yang membuat si bujang dapat duduk bersama dengan yang dah kawin. Misalkan kerna derajat ilmu, status jabatan dan kedudukan. Kalau tidak, biar usia dah tuapun tetaplaah statusnya bujang (dianggap biak). Dan, di dalam mesyuarat masyarakat pun, kedudukan yang dah kawin dinilai lebih, sebab yang dah kawin tuu kepala keluarga.

Begitulaah, kerna status kawin, ada perbedaan kedudukan dan penilaian di dalam kultur masyarakat. Seseorang dianggap naik status kulturalnya kerna dah kawin. Hal ini tentu saja bukan tanpa landasan, sebab adat bersumber syara', sedangkan di dalam syara', meski kawin-menikah cuma sunnah muakadah hukumnya, tapi itulah yang menyempurnakan sebahagian agama, sehingga dinilai dan bernilai tinggi. (Maaf kalau tersalah).

Betul, sekarang ini, banyak pengangkatan-pemilihan pemimpin-pemimpin formal tidak pernah 'memformalkan' status kawin sebagai salah satu syaratnya. Namun jauh di alam bawah sadar masyarakat, masih menempatkan status kawin sebagai timbangan. Apatah lagi dalam syarat-syarat ketokohan dan kepemimpinan informal, misalkan dalam kepemimpinan adat, status kawin tetap penting adanya.

Alkisah, kerna di dalam kepemimpinan formal, tak diperlukan status kawin, boleh jadi misalkan di suatu kampong dipimpin oleh kepala kampong, seorang lelaki yang belum kawin. Ia terpilih sebab kepandaian dan kepopularannya. Tak ada yang salah kedengan itu. Nah, sebab sebagai kepala kampong, apapun permasa'alahan yang ada di masyarakatnya, dia kena mengurusnya, termasuk jika ada sengketa di dalam rumah tangga warganya, yang dilaporkan atau meminta saran nasihatnya. Suatu ketika, jika memang ada yang demikian itu, meskipun bijak saran nasihatnya, bagus pendapatnya, kadangkala tetap ada yang ganjil di persepsi masyarakat. Sebab apa? Kerna mungkin ada saja yang menilai, baik dan pandai betul memberi nasihat, tapi tak pernah mengalami sendiri. Sebatas ucapan, mungkin didapat dari membaca dan mendengar, tapi bukan sebab pengalaman langsung. Sedangkan berkawin-menikah itu, bukan se-elok seindah kata-ucapan, tapi praktikalnya itu yang penting dan memberikan pelajaran serta hikmah kehidupan. Artinya, status kawin diakui atau tidak, penting bagi memimpin. Kerna berumah tangga itupun memimpin dalam perlembagaan kecil dan inti. Kawin-menikah, bersuami, beristeri dan beranak pinak itu menyempurnakan. Begitulah agaknya... :-)

So, kawan-kawan yang belum menikah, menikahlah... Pilah dan pilihlaah yang sesuai dan baik orangnya. Namun jangan terlampau memilih sangat, sebab jika terlampau memilih, akhirnya tak jadi memilih. Jika usia semakin beranjak bertambah, bahayalah itu. Memang bagi kaum lelaki, usia 30 sampai 35 an tahun, masih memungkinkan mencari perempuan yang 5-6 tahun di bawahnya, itupun tetaplah menyulitkan. Apalagi bagi kaum perempuan, jika dah 25 tahun ke atas saja, mulailah mereka was-was akan dirinya. Jika berkaca bercermin, tetengok dah mulai timbul kerutan di muka, berkurang seri wajahnya, dan makin gundah gulanalah jadinya. Apakan lagi jika dah mencapai usia 30an tahun.

Maknanya, bersegeralaah...! Ibarat kata-kata orang-orang tua dulu, "Memilihlaah dengan bijak selama masih boleh memilih, sebelum giliran engkau yang dipilih." Dan, pada usia yang 30an tahun itu, peluang memilih semakin kecil, giliran kena dipilih. Itupun kalau ada yang memilih dan terpilih. Jika tidak, 'merangunlaah' kata orang kampong saya.

Akhirnya, lagi-lagi bersegeralah kawin bagi yang belum kawin. Bagi yang sudah kawin, saya tiada berani memadahkan atau menyarankan untuk berkawin lagi... Sebab, (sambil menulis inipun) saya sering menoleh ke belakang, khawatir jika tiba-tiba ada someone yang 'membelebau' saya... (Risi disangka ingin berkawin lagi juga). :-D

Apa dah jadi, sampai sekarang tak kawin lagi, apa nak jadi...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun