Mohon tunggu...
Rudi Handoko
Rudi Handoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pulau Maya Karimata

20 Mei 2011   04:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:26 2051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Waktu mengikuti perjalanan kampanye seorang calon Bupati, yang akhirnya membuatku ikut merasakan mengitari kawasan kepulauan di Kecamatan Pulau Maya Karimata. Kawasan yang sebenarnya dekat dengan kampungku, tapi tak semua orang pernah mengelilinginya!

Ketika mula bertolak dari Sukadana menuju ke Tanjung Satai, sudah terbayang dibenakku suatu kawasan pulau yang sepertinya indah dan tentu saja akan dapat makan ikan dan udang sepuasnya. Karena yang sering diceritakan oleh orang-orang, kalau ingin makan ikan dan udang dengan puas, maka pergilah ke Pulau Maya Karimata.

Kamis singgah di Tanjung Satai tidak begitu lama, hanya ada beberapa orang yang kebetulan singgah dan sekalian nitip baju, bola voli dan jaring net untuk kampanye.

Perjalanan dilanjutkan ke Pulau Karimata memakan waktu sekita 2-3 jam, tergolong cepat, karena kami menumpang speed boat mesin ganda yang akupun dak tahu berapa kekuatan mesinnya…hehehehehehe! Sepanjang perjalanan, gugusan pulau di kawasan kepulauan Karimata tampak dengan jelas, dan jeprat-jepret…kebetulan hari yang cerah. Pulau yang indah, begitulah yang kukatakan ketika pertama kali melihat Pulau Karimata. Karena kebetulan air lagi “kondah” alias surut, maka untuk berlabuh bertambat di dermaga Desa Padang ini memakan masa yang lama juga, karena kalau tidak hati-hati maka akan menabrak karang yang tampak berwarna kemerah-merahan di dasar laut…Woooowww…amazing bagiku! Begitu sampai, yang menyambut di dermaga langsung menaburkan beras kuning di iringi dengan permainan tar/hadrah dan lantunan shalawat!

Di pulau ini hanya ada dua desa yang tak dapat ditempuh dengan jalur darat tapi mesti menggunakan perahu karena terpisah meski di daratan yang sama.

Sesungguhnya aku bingung, hendak melukiskan suatu keindahan, menceritakan pantai yang pasirnya putih, air laut yang biru dan anak-anak ikan yang nampak jelas.

Yang pasti, selama di desa Padang kemudian dilanjutkan ke Desa Betok hingga menyeberangi lagi ke Pulau Pelapis, yang kulihat adalah keindahan saja, baik berupa laut nan biru, karang, batu-batu besar di laut, hutan dan pohon kelapa yang hijau, kehidupan penduduk yang bersahaja dan ramah, serta ikan, udang, kepiting dan telur penyu yang dihidangkan tiap kami singgah! Sepanjang perjalanan inipula, yang kulihat adalah perahu, kapal, sampan, belat, kelong dan lainnya. Sungguh kehidupan laut yang seruuu…!

Selama di desa Padang, pada malam harinya ternyata kami disambut pula dengan acara musik, pastinya dangdut dunk…ternyata yang hadir disini bukan hanya orang-orang tempatan, banyak pula yang dari Belitung dan Sulawesi. Ini dapat dimaklumi karena mereka adalah nelayan yang menjadikan kawasan Pulau Karimata sebagai kawasan mencari hasil laut dan persinggahan.

Dalam perjalanan ini pula aku baru tahu, bahwa Pulau Karimata yang sesungguhnya bukan yang besar itu, tapi ada pulau kecil lain antara Pulau Karimata dan Pulau Serutu, pulau yang sangat kecil yang hanya berupa seonggok gundukan tanah dan batu. Pulau itulah Pulau Karimata yang sejati, yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar, tempat bernazar dan sering mereka ziarahi, kalau bahasa kampong kami disebut dengan “bayar niat,” apalagi bagi orang-orang yang pernah selamat dari keganasan laut di kawasan ini. Cerita ini disampaikan oleh Ami Mohdar (Syarif Mohdar, seorang tokoh Sukadana-Kayong Utara), yang ikut dalam rombongan kami juga.

Di Pulau Pelapis, desanya terletak di antara dua pulau yang saling mengapit, sehingga airnya tenang dan banyak kapal singgah disini, kawasan inipun juga tak kalah indahnya, airnya juga biru dan karang-karang kecilnya terlihat jelas.

Selama perjalanan ini, tak kusia-siakan, berbagai obyek pemandangannya ku-jepret, dan semuanya berkesan bagiku. Ada foto laut, pantai, anak-anak maen guli (gundu), rumah penduduk, gunung, telapak kaki raksasa, perkampungan nelayan dan sebagainya.

………….

Tak dapat dipungkiri lagi, kawasan Pulau Maya Karimata yang sekarang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kayong Utara (KKU), yakni kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Ketapang. Memiliki berbagai potensi pelancongan baik alam, bahari dan sejarah serta budaya sebenarnya dapat dilestarikan dan dikembangkan serta dipromosikan.

Nah, bercerita tentang hal-hal itu, di kantor Bupati Kayong Utara, ada satu meja kecil yang di atasnya ada semacam peti berkaca. Terkadang memang tidak diperhatikan, tapi jika di-amati dengan seksama, isi dalam peti itu adalah sebuah arca, seperti arca dewi seperti yang ada di relief-relief candi di Pulau Jawa, memang sudah tidak utuh lagi kondisinya, tapi masih menyisakan tanda-tanda bahwa arca itu adalah barang peninggalan bersejarah.

Masih menyangkut tentang arca dalam peti kaca itu, tertulis keterangan bahwa arca ini ditemukan di daerah Totek, Desa Dusun Pulau Maya Karimata-Kayong Utara. Daerah Totek sendiri pernah menjadi daerah tempat orang mencari emas, namun sekarang sudah tidak lagi karena potensi emasnya tidak begitu besar, mungkin emas yang ada juga bukan emas alam tapi emas jadi, karena daerah Totek dikenal sebagai daerah tempat bersarangnya para Lanun/Perompak pada zaman dahulu, yang merompak pedagang yang lewat perairan Selat Karimata ini.

Selain arca yang ada di kantor Bupati, menurut orang-orang di Desa Dusun sendiri, termasuk cerita dari mulut ke mulut dari orang-orang di daerahku yakni Teluk Batang yang pernah mencari emas di Totek, mereka pernah ketemu arca atau berbagai bentuk patung-patung lainnya, serta batu-batu besar yang ada lukisan-lukisan yang kubayangkan mungkin seperti relief-relief di kawasan daerah tersebut.

Bukan sekedar menyampaikan informasi, keberadaan arca tersebut di kawasan Pulau Maya Karimata, masih menyisakan banyak pertanyaan. Karena memang sampai saat ini setahu saya belum ada penelitian atau publikasi yang khusus mengenai apa, mengapa, kapan dan bagaimana arca itu boleh berada di kawasan ini. Apakah memang dahulu ada peradaban zaman Hindu Budha di sini, ataukah arca tersebut merupakan barang bawaan atau hasil jarahan lanun dari lalu lintas perdagangan yang melewati daerah ini. Wallahu’alam!

Kawasan ini terutama Pulau Karimata dikenal dengan keindahan alamnya yang menjanjikan baik daratan pulaunya, pantainya dan tentunya alam bawah lautnya. Kawasan ini menyimpan potensi keindahan karang yang tak kalah indahnya dibanding kawasan-kawasan lain di Indonesia, bahkan mungkin dunia, namun belum ter-promosi-kan, karena memang letak geografisnya yang jauh di tengah selat karimata, dan transportasi serta fasilitas pendukung yang masih minim sangat.

………

Gugusan Kepulauan Karimata yang terletak di Kabupaten Kayong Utara sejak lama sudah ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 2240/DJ/I/1981 tanggal 15 Juni 1981 dengan luas 77.000 ha. Trusss…berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 381/Kpts – II/1985 Cagar Alam Kepulauan Karimata ditunjuk sebagai Cagar Alam Laut dengan luas 77.000 ha. Jadi kemolekan dan keelokan kawasan ini masih alami dan asli. Hutannya masih terjaga keasliannya dengan aneka satwa dan pantai dengan pasir putih yang indah. Sedangkan lautnya, hhmmmm…dahulu memang sempat terancam sangat…karena maraknya nelayan asing yang masuk dan nelayan dari daerah lain yang menangkap ikan dengan menggunakan trawl dan bom ikan.

………..

Menurut berbagai cerita semenjak dahulu sememangnya telah menjadi daerah perlintasan kapal-kapal baik kapal dagang/perniagaan ataupun kapal-kapal nelayan yang mencari hasil laut, karena wilayah ini terkenal pula dengan potensi lautnya nan melimpah.

Nah, dari cerita-cerita masa lalu tentang banyaknya kapal-kapal yang singgah dan tenggelam kemudian meninggalkan harta karun berupa barang-barang perdagangan masa lalu seperti piring porselen, mangkok, dan sebagainya.

Di Pulau Karimata sendiri yang saya kunjungi, terdapat juga meriam-meriam VOC, dan yang tak kalah menarik adalah batu dengan bekas telapak kaki manusia yang ukurannya sebesar dua kali telapak kaki manusia dewasa saat ini. Entahlah, kaki manusia apa ini, tak ada yang dapat menjelaskan dengan rinci, penduduk tempatan menamakan batu itu Batu Tapak Gajah. Cerita mulut ke mulut penduduk tepatan juga mengatakan, bahwa dulu kala daerah mereka juga sempat disinggahi oleh tentara Yuan-Mongol sewaktu hendak menyerang Jawa, selain itu sempat pula menjadi daerah persinggahan kapal-kapal rombongan Laksamana Cheng-Ho dalam perjalanan muhibahnya (ini masih perlu diteliti kebenarannya). Di Pulau Karimata pula terdapat satu makam Raja, mereka mengatakan itu adalah makam dari kerabat pendiri Kerajaan Sukadana Baru (Keturunan Tengku Akil Dipertuansyah dari Siak), yakni Makam Tengku Abdul Jalil.

Dalam sejarahnya juga, Pulau Karimata pernah juga mempunyai kerajaan sendiri dengan Rajanya yang dikenal dalam cerita bernama Raja Bathin Satia Pahlawan. Raja ini sempat pula memberi hadiah kepada Panembahan dari Kerajaan Simpang, sebuah meriam bernama Meriam Bujang Koreng (hal ini masih perlu penelusuran). Selain Raja Bathin Setia Pahlawan, tokoh terkenal lain dalam legenda Karimata adalah Bathin Galang. Oleh Belanda, Bathin Galang ini dianggap sebagai Kepala atau Raja Lanun (ada ceritanya menyusul).

Ini semuanya menjadi menarik bagiku, dan mungkin menarik bagi orang-orang yang mencintai sejarah, seni, alam dan budaya. Pulau Maya Karimata, memiliki ke-khasan tersendiri. Selama dua hari satu malam aku berkeliaran di gugusan pulau ini, banyak hal yang unik kutemukan.

………

Orang Pulau seringkali menyebut diri mereka orang laut, dan mereka sangat memahami betul tentang laut, cuaca dan angin, ini terkait dengan mata pencaharian mereka sebagai nelayan yang mesti tahu kapan harus melaut ketika musim ikan melimpah dan kapan tidak melaut karena musim selatan gelombang besar.

Bahasa mereka juga tidak banyak berbeda dengan bahasa masyarakat Melayu pantai lainnya di KKU dan Ketapang, sungguh masih banyak yang mudah dimengerti. Mungkin ada juga yang agak mirip dengan dialek orang Belitung, maklum jika ke Belitungpun mereka hanya membutuhkan waktu 7-10 jam saja, alokasi waktu yang sama seandainya mereka hendak ke Sukadana, Ketapang atau ke Pontianak.

Rindu ingin ke Pulau lagiii…!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun