Mohon tunggu...
Rudi Handoko
Rudi Handoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dongeng Para Naga

29 Agustus 2015   07:52 Diperbarui: 29 Agustus 2015   07:52 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dongeng Para Naga

Dalam dialog di salah satu tipi dikisahkan bahwa bahan makanan (beras, daging sapi, kedelai, kentang, bawang, dkk) di negara ini menjadi mahal dan seringkali langka di pasaran, kerna dikuasai dan dimain-mainkan kartel berulah mafia. Kunun diantara mereka dikenal dengan gelaran para naga... Pemerintahpun sesungguhnya sudah tahu sesiapa saja orang-orangnya dan bagaimana sepak terjangnya. Pertanyaan, mengapakah pemerintah tak berdaya menghadapinya?

Jika ditelaah secara panjang lebar, boleh jadi banyak sebab yang membuat pemerintah negara ini kesulitan menghadapi ulah para naga ini. Namun sederhananya dapat disimpulkan jadi dua hal saja. Pertama, kerna mungkin pemerintah negara ini memang sudah tidak punya kekuatan dan kemampuan untuk menghadapi apalagi melawannya. Kedua, boleh jadi (mungkin) kerna pemerintah negara ini merupakan bagian dari (baca: melindungi) kartel tersebut.

Berbicara tentang naga, dalam kisah-kisah dongeng, legenda-legenda dan atau literatur mitos lama, ada banyak bentuk perwujudan naga. Di negara ini, juga menyimpan kisah-kisah naga, bahkan secara tradisional seringkali muncul dalam cerita rakyat dan sering diwujudkan bentuknya pada lambang, logo, emblem kerajaan-kerajaan (negeri-negeri lama) dan sebagainya. Sedangkan dalam literatur mitos di belahan dunia lainnya, naga juga dianggap sebagai makhluk yang mempunyai kekuatan super.

Nah, berkisah tentang para naga yang berkuasa dan bermain sebagai kartel, mungkin dapat dikategorikan dalam dua bentuk naga juga. Pertama, naga lokal sebagaimana yang sering muncul secara tradisional dalam cerita rakyat di rantau ini. Naga lokal ini biasanya secara fisik tidak terlampau besar dan tidak berwujud terlalu seram, terkadang hanya berbentuk ular besar, tapi sering tampil memakai mahkota sebagai perlambang supremasi kekuasaan. Kedua, naga asing dan atau perantauan. Jika naganya dari belahan dunia Barat, maka wujudnya seram, raksasa, bergigi taring, berkuku tajam, dapat memuntahkan api dan bersayap. Jika naganya perantauan dari rantau Asia (Asia Timur), wujudnya tak kalah ngeri, berukuran raksasa, seram, bergigi taring, berkuku tajam, bermisai, juga dapat memuntahkan api, meski tidak bermahkota tapi memiliki tanduk. Naga asing/perantauan ini terbilang lebih menyeramkan wujudnya dibanding naga lokal. Untuk naga asing/perantauan yang sering muncul di dalam kisah persilatan para naga di dunia kartel ini, kebanyakan memang naga rantau Asia.

Seperti kisah-kisah dongeng umpamanya, baik naga lokal ataupun naga asing/perantauan, jika mereka sudah berkuasa dan berulah, maka dipastikan ayam, kambing, lembu, sapi, kerbau dan lainnya kan menjadi korban atau terkorbankan. Kerna apalah daya, tak mungkin mereka melawan para naga, apalagi mereka tak memiliki perlindungan yang aman. Dan, rakyat di negara ini sebagian besar level atau kondisinya baru sampai pada level ayam, kambing, lembu, sapi, kerbau tersebut. Sehingga tidak menghairankan jika dipandang sangat menggiurkan sebagai santapan para naga tersebut.

Akhirnya, para naga (kartel-mafia) kan semakin gemuk dan berukuran besar, sementara korban-korbannya (rakyat nan dhaif), hanya bisa pasrah setiap saat menunggu untuk dimangsa. 😄

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun