Mohon tunggu...
Rudi Handoko
Rudi Handoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berpikir tentang Federalisme

27 Maret 2011   02:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:24 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Faham federal atau federalisme sebagai suatu gagasan yang sebenarnya sah-sah saja dan wajar-wajar saja, apalagi jika dibicarakan secara terbuka sebagai pilihan bentuk kenegaraan. Maka federalisme bukan suatu yang tabu untuk dibicarakan, karena federalisme merupakan salah satu pilihan bentuk kenegaraan dari sekian banyak bentuk kenegaraan yang ada.
Pilihan terhadap federalisme sepatutnya dibuka ruang publik untuk membicarakannya, seiring dengan melepaskan segala macam ketakutan atau phobia seakan-akan federalisme adalah pengkhianatan atau musuh dari integrasi nasional.
Layaknya bentuk negara kesatuan atau negara kerajaan konstitusional, maka perbincangan tentang federalisme mestilah diletakkan secara proporsional sebagai pembicaraan tentang teori-teori dan implementasi bentuk negara dalam ilmu Negara dan ketata negaraan. Lebih dari itu, federalisme mesti dibincangkan sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Bukan sekadar memposisikannya secara vis a vis berlawanan dengan bentuk negara kesatuan apalagi disertai dengan sentimen-sentimen sempit kekhawatiran disintegrasi secara berlebihan.
Sebagai pilihan bentuk negara, maka federalisme perlu ditimbang sebagai pilihan alternatif kiranya bagi kemunafikan dalam bingkai negara kesatuan. Kenapa demikian,… karena toh, sampai saat ini bentuk-bentuk otonomi khusus beberapa daerah senyatanya sudah berjalan ke arah federalisme dalam bentuk yang lebih soft. Pun, jika federalisme dikhawatirkan memicu disintegrasi, maka itu merupakan asumsi yang sepenuhnya salah. Karena disintegrasi dalam berbagai kasus malah dipicu oleh ketidakpuasan terhadap jalannya pemerintahan, ketimpangan, ketidakadilan dan diksriminasi ketimbang federalisme.
Boleh jadi, federalisme hadir sebagai jawaban untuk mempertahankan integrasi dalam bentuk negara-negara bagian yang lebih mandiri, berharkat dan bermartabat serta manusiawi. Kenapa saya katakan seperti itu, karena kasusnya (meskipun mungkin agak parsial) selama dalam bingkai kesatuan, tak lebih sekedar mempertahankan integrasi ditengah bara api ketidak-adilan, ketimpangan, diskriminasai dan ketertindasan dalam hubungan pusat dan daerah periferi. Meskipun daerah periferi faktanya menyumbang lebih dalam berbagai hal bagi pusat.
Beberapa negara besar dan maju, yang berbentuk federalisme, kebernegaraannya tidak mesti juga secara primordial memperlihatkan kecenderungan disintegrasi, malah terkadang justru saling menguatkan antara pemerintah federal pusat dan negara bagian, bahkan negara bagian dapat berkembang sesuai dengan karakteristik lokal dan segala potensinya. Kuncinya tetaplah kesejahteraan dan kemakmuran, di negara federal yang makmur maka integrasi tetap bertahan, tapi di negara kesatuan yang tidak adil, maka disintegrasi terjadi, begitupun sebaliknya.
Namun untuk konteks Indonesia, jika terus begini…maka saya mengkhawatirkan apakah negara kesatuan cukup kuat untuk merekatkan integrasi dan cukup mampu untuk menyejahterakan secara merata. Apakah mempertahankan kesatuan seperti yang dipaksakan saat ini dan mengagungkannya secara berlebihan tak lebih dari upaya romantisme era Gajah Mada dalam mempersatukan nusantara, atau beban sejarah sedari era Soekarno. Tak bolehkah kita beranggapan, mungkin federalisme adalah upaya yang lebih baik dalam mengikat persatuan dan mempersatukan dalam keberbedaan.
Memikirkan federalisme bagiku karena ketika aku melihat negeriku Kalimantan (Borneo bagian/jatah Indonesia), sudah hampir habis hutan dan tambang serta SDA lainnya, tapi masih belum lepas dari "keterjajahan," ketertindasan, kemiskinan dan pembodohan. Beda banget sama saudara jiran se-pulau (Sarawak, Sabah dan Brunei), yang udah duluan makmur!
Bukan hendak menggoda pikiran nakal, tapi fakta Kalimantan yang kaya selalu sengsara, anak pedalaman mesti puluhan kilometer berjalan melewati hutan dan menyeberangi sungai untuk sekolah, gurunya cuma satu, lampu listrikpun tak ada, jalanan masih tanah, padahal di sekelilingnya ada emas hijau yang semakin punah, di tanahnya terdapat beraneka tambang yang makin menghilang.
Apakah ini nasib…?!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun