Mohon tunggu...
Alex Pandang
Alex Pandang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Writer

Freelance Writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam Minggu dan Kenang yang Pulang

6 Mei 2019   21:09 Diperbarui: 11 Mei 2019   20:10 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ilustrasi, Pixabay.com)

Awal bulan, jam enam petang, senja pergi begitu lekas. Memerah lalu padam tanpa pesan. Suara-suara bising kendaraan, maupun celoteh para pejalan kaki tak mampu menahan laju kepak sayap senja yang rindu membentur malam. Gelap merayap cepat, tak terkecuali pada setapak kecil yang berbatasan dengan apotik Hijau yang tengah kulintasi.

Di ujung setapak nampak bu Ratih sedang mengatur beberapa barang dagangan di depan warung miliknya. Perempuan itu tak hanya terkenal cerewet, tapi juga seorang perawan tua yang bernazar tak akan pernah kawin setelah ditinggal pergi Tirto kekasih hatinya dua puluh tahun silam.

Bapak bu Ratih tidak menyetujui hubungan sepasang kekasih itu. Tirto dikeroyok orang sekampung saat mencoba membawa kabur Ratih muda yang payudaranya baru tumbuh!

“Waktu itu dia masih esempe dan aku baru tamat esde. Malam itu mas Tirto berhasil lolos dari amuk masa keluargaku. Yang aku ingat wajahnya berlumur darah, dahinya bocor kena timpal kayu Pamanku.” Cerita bu Ratih sekali waktu. Tangisnya hampir pecah.

Kisah bu Ratih telah jadi rahasia umum. Dengan enteng, ia menyampaikan kisah hidupnya kepada siapa saja yang betah terperangkap obrolan dengannya di warung. Ada yang sungguh-sungguh bersimpati mendengar kisah itu. Tapi, banyak pula yang cuma pura-pura prihatin dengan maksud dibolehkan berhutang. Bu Ratih mudah saja percaya pada orang lain. Rahasia hidupnya jadi milik semua tetangga dan rahasia semua tetangga jadi miliknya. Setidaknya begitulah hukum tarik menarik dalam hidup bu Ratih digenapi olehnya.

“Sial!” Umpatku dalam hati. Sepertinya aku bakal terperangkap obrolan lagi Dengannya. Baru saja aku sadar, ternyata rokokku habis! Warung bu Ratih terpaksa jadi tujuan yang tak bisa dihindari.

—-

Seperti dugaanku sebelumnya, bu Ratih, lagi-lagi melontarkan senjata berupa jimat penglaris andalannya : menyapa dengan suara lembut plus senyuman ramah. Cara ini selalu berhasil, apalagi bagi calon pembeli seperti aku : mahasiswa kere alias anak kos tukang bon..

”Baru pulang yah mas? Kok lesu amat? Masih muda nggak usah kebanyakan mikir, nanti cepat tua. Mending hepi-hepi aja, kayak aku ini hepi terus.” Bu Ratih mulai melancarkan jurus tegur sapanya.

“Iya, Bu. Kebetulan ini lagi banyak-banyaknya urusan di Kampus. Biasa…jadwal konsultasi Skripsi.” Jawabku seraya mendekatinya, lalu segera menyodorkan selembar uang sepuluh ribu kusut yang baru saja kuambil dari saku baju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun