Mohon tunggu...
Lilis Juwita
Lilis Juwita Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku

Painting, Art, Poem, Short Story n Graphic Design That's Really Me. Aku bukan Wonder Woman, aku juga bukan Kartini, aku bukan Bidadari tanpa Sayap, aku bukan satu dari 7 Selendang Pelangi yang hilang, aku cuma perempuan yang takut panas, debu dan kucing. Aku cuma perempuan yang “Tak Biasa” ♪♫•*¨*•.¨*•♫♪♪♫•*¨*•.¨*•♫♪

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lembayung di Pantai Pandawa

12 Januari 2020   12:16 Diperbarui: 12 Januari 2020   12:32 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: indobalitours-travel.com

Ketika tidak ada yang bisa kulakukan, aku akan melepaskan genggamannya. Ketika dia baik-baik saja tanpaku, aku akan melepaskan pelukannya. Ketika sudah tak ada keinginannya untuk mengingatku, kupastikan aku sudah benar-benar jauh. Dia hadir seperti jingga yang mewarnai senjaku meskipun hanya sesaat.

"Lupakan Dhanan, lupakan kamu pernah mengenalnya!"

"Iya Bude, tapi tak semudah itu melupakan dia."

"Kamu pasti bisa, dan harus bisa Mel!" Bude berkali-kali meyakinkan aku, "Dia tidak cukup baik buat kamu," lanjutnya.

Bude demikian aku memanggil Bu Asri ibu angkatku sejak dua tahun lalu aku tinggal di rumahnya. Beliau sering mengingatkan aku tentang watak kurang baik Dhanan. Seperti sore itu aku kembali beradu argumen lagi-lagi tentang Dhanan sahabat baik Mirna putri semata wayang Bude.

"Mirna adalah sahabat baik Dhanan tentu lebih mengenal dia karena mereka berteman jauh sebelum kamu mengenalnya Nak."

"Iya Bude, saya tahu."

"Dhanan bukan laki-laki yang bertanggung jawab, dia sering kali abai dengan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya."

"Kenapa dia baik kepada saya Bude?"

"Dia baik pada semua gadis yang dia temui."

"Sikap dia belakangan ini jauh lebih baik dari sebelumnya."

"Percayalah Mel, kamu hanya dimanfaatkan oleh dia untuk membantu menyelesaikan pekerjaannya."

"Mungkin dia berubah Bude, dia mulai menyadari tanggung jawabnya."

"Dia tidak akan pernah berubah, selamanya akan seperti itu."

"Beri dia kesempatan untuk membuktikannya."

"Mel, kamu hanya menjadi salah satu korban kebaikan sikapnya."

"Mana mungkin sikap baik harus ada yang dikorbankan?"

"Kamu belum mengerti apa yang Bude jelaskan."

"Saya akan membantunya membuktikan bahwa yang Bude dan Mirna katakan tidak sepenuhnya benar, maafkan saya Bude."

"Kamu akan menyesal nanti," pungkasnya.

Entah berapa kali perdebatan serupa terjadi antara kami yang berputar tak pernah ada titik temu dan selalu diakhiri dengan langkah Bude meninggalkan aku terduduk diam mencoba memahami apa yang dijelaskan Bude, namun aku selalu gagal.

***

Sejak dua tahun terakhir aku tergabung dalam event organizer yang cukup ternama di Jakarta karena sering dipercaya menggelar event besar yang dihadiri oleh pejabat pemerintah dan petinggi universitas di setiap kali pelaksanaannya.

Ada keasyikan tersendiri ketika menjadi tim dalam kesekretariatan. Aku bisa menulis surat untuk calon peserta pelatihan serta para pejabat pemerintahan bahkan pejabat setingkat menteri yang kami undang untuk menjadi narasumber dan menyusun panduan praktikum termasuk modul yang aku susun untuk mempermudah proses pelatihan dengan demikian peserta bisa mengulang kembali di tempat masing-masing setelah selesai pelatihan. Lebih tepatnya aku adalah sekretaris event yang bertugas menulis surat dan keperluan administrasi lainnya.

Semua kelengkapan untuk beberapa event di luar kota sudah kusiapkan. Termasuk materi yang akan dia sampaikan esok hari pun sudah tertata rapih dalam modul materi pelatihan. Glady resik sering kali kami lakukan supaya kegiatan pelatihan berjalan lancar, begitu pula siang hingga petang hari itu kami bersiap agar dia tampil maksimal meskipun ini bukan pelatihan yang pertama kali dia bawakan sebagai narasumber.

Biarpun aku tidak menghadiri secara langsung, aku bisa mengetahui kegiatan pelatihan tersebut terlaksana dengan baik dari dokumentasi foto dan laporan kegiatan. Kadang dia tak sendiri mengisi kegiatan itu karena selalu ada pendamping baik dari penyelenggara atau tim dari divisi pelatihan yang memang ditugaskan untuk turut menghadiri. Entah kenapa selalu ada kepuasan tersendiri ketika semua berjalan baik. Aku bisa tersenyum saat mendengar bagaimana dia mendapat tanggapan yang baik setiap usai kegiatan. Setidaknya aku mengartikan upaya yang kami persiapkan tidak sia-sia.

Kemampuannya berbicara di depan umum membuat dia sering diberi kepercayaan mengisi materi pelatihan atau menjadi pembawa acara pada kegiatan yang sering kami adakan. 

Tutur katanya begitu tertata baik, pembawaan diri yang kalem membuat sosok I Made Dhananjaya seorang laki-laki muda berasal dari Pulau para Dewa yang baru dua tahun lalu aku kenal tampak nyaris sempurna di mataku, Dhananjaya merupakan nama lain dari tokoh pewayangan yang terkenal disukai oleh banyak wanita dan aku lebih akrab memanggilnya Dhanan. 

Berbanding terbalik dengan aku yang tidak terlalu banyak bicara bahkan tak punya keberanian untuk sekedar menyapa terlebih dahulu ketika berpapasan dengan siapa pun aku lebih memilih menunduk dan menenggelamkan diri menghindar dari pandangan mereka dan bicara seperlunya saja.

Aktivitasku di Jakarta membuat frekuensi perjalanan dari Bandung ke Jakarta begitu pula sebaliknya menjadi semakin sering. Sehingga pak Tiesna yang merupakan manajer EO menyarankan kepadaku untuk tinggal di Jakarta supaya waktu bekerja bisa lebih efektif lagi. Kemudian Dhanan menyarankan aku untuk tinggal di rumah salah satu sahabat baiknya yang bernama Mirna, saat itulah aku mengenal Mirna dan Bu Asri.

***

Pertengahan November EO kami kembali dipercaya mempersiapkan event tingkat nasional di Denpasar. Event ini yang ketiga kalinya dipercayakan kepada kami, artinya kami harus mempersiapkan semua dengan melihat kembali pelaksanaan event sebelumnya, agar dapat memperbaiki kekurangan atau menambahkan hal-hal yang bisa membuat event kali ini terlaksana lebih baik. 

Karena itu lebih dari dua bulan sebelum pelaksanaan event sudah mulai disibukkan dengan persiapan perijinan, surat undangan, sponsorship dan semua perlengkapan administrasi lainnya. Hal ini membuat semua anggota tim harus bekerja keras dan mampu memanfaatkan waktu yang tersisa supaya event yang kami rancang berjalan sesuai dengan keinginan client.

Pak Tiesna meminta empat orang tim EO untuk berangkat ke Denpasar lebih dahulu sebagai tim inti, termasuk aku seperti biasa menangani kelengkapan administrasi dan Dhanan yang kali ini dipercaya sebagai Project Officer karena dinilai cukup menguasai kondisi lapangan di mana tempat event akan digelar merupakan tanah leluhurnya meskipun orang tua dan keluarganya sudah lama menetap di Jakarta.

Waktu tinggal sepekan menjelang pelaksanaan event, tiba-tiba semua dirubah dari mulai ketentuan batas waktu registrasi hingga rundown acara. Perubahan ini disebabkan banyak hal tak terduga seperti calon peserta banyak mendaftar di akhir batas pendaftaran yang sudah ditetapkan sebelumnya, selain itu beberapa narasumber membatalkan atau merubah jadwal kehadirannya. Sehingga kami harus bekerja keras agar semua tetap berjalan meskipun tidak sesuai lagi dengan apa yang sudah jauh-jauh hari kami persiapkan.

Aku hampir menyerah, aku bukan perempuan tangguh dan juga bukan wonder woman atau tokoh wanita super lainnya yang bisa melakukan semua pekerjaan sendiri tanpa kerja sama tim. Setidaknya ada satu tujuan untuk membuktikan pada mereka yang menyangsikan kemampuan Dhanan bahwa dia tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaan ini dengan baik dan dia dapat bertanggung jawab hingga akhir. Walau pun sejak awal aku tahu jadwal pekerjaan yang harus dia selesaikan tidak sedikit dan itu menjadi dilema buat dia.

Seperti yang kuduga sebelumnya, event kali ini sedikit di luar kendali bila tidak boleh  dikatakan berantakan. Kesanggupan kami untuk terlibat di dalamnya sejak awal sudah seharusnya ikut bertanggung jawab sehingga tak mungkin kami melepaskan begitu saja selain melakukan semampu yang kami bisa sampai hari terakhir event tersebut berlangsung. Terlepas bagaimana penilaian semua orang yang terpenting adalah menuntaskan semuanya semampu yang kami bisa.

Segera setelah event selesai aku menyempatkan mengantar Dhanan ke Bandara supaya bisa  mengejar penerbangan malam ini.

"Hati-hati," terlontar dari bibirku yang tiba-tiba kehilangan kata untuk diucapkan hanya sepenggal do'a kubisikan nyaris tanpa suara "Fii amanillah," lalu senyap seperti langkah Dhanan yang tanpa jejak. Dari Drop off Area Bandara Ngurah Rai ujung tatapku mengantarkan kepulangan Dhanan sehari lebih awal dari jadwal sebelumnya karena pekerjaan lain sudah menunggu di Jakarta.

Kupacu city car berwarna hitam memecah keramaian Kota Denpasar yang tidak pernah tidur menuju hotel tempat event dilaksanakan dan berakhir sore tadi dengan resmi ditutup kemudian aku kembali bergelut dengan setumpuk laporan yang harus diselesaikan supaya tak ada lagi pekerjaan yang tersisa esok hari.

***

Akhirnya sampai juga di tepian laut dengan hamparan pasir putih sepanjang garis pantai yang tersembunyi dibalik dinding tebing batu kapur terletak di Kuta Selatan. Cukup lama aku berdiri memandangi Secret Beach atau Pantai Kutuh yang lebih dikenal dengan Pantai Pandawa, dinamai demikian karena pada tebing yang menuju pantainya terpahat patung lima tokoh pewayangan itu.

Dan konon kisah asal usul pantai ini pun serupa dengan kisah Pandawa Lima yang membuka belantara ketika membangun kerajaannya. Kisah yang selalu membuat matanya bersinar setiap kali menceritakan bahwa namanya diambil dari salah satu pangeran Pandawa, seorang panglima perang yang juga dikenal pandai menaklukkan hati perempuan, dan mereka mau melakukan serta memberikan apa pun untuk bersanding dengannya, bahkan para taklukannya memberi banyak upeti usai dia kalahkan dalam peperangan. Dhananjaya adalah nama lain dari Arjuna.

Dhanan, aku sudah tunaikan janjiku untuk menjejakkan kaki di pantai ini. Berlari di atas pasirnya seperti menapaki jejak masa kecilnya dulu. Matahari siang itu cukup hangat seperti sikapnya. Aku harus pergi, sebelum aku merasa terlalu nyaman berada di dekatnya, sebelum aku merasa ingin lebih lama bersamanya lebih baik aku cukupkan saja hingga di sini. Aku tidak akan sanggup bersaing dengan perempuan lain, Aku bukan Srikandi yang bisa memenangkan hatinya. Aku harus kembali mengemas hatiku baik-baik, kehangatanya hampir membuatku terlena meskipun hanya beberapa saat karena harus bergegas sebelum mengakhiri perjalanan di pulau para Dewa.

Ketika tidak ada yang bisa kulakukan, aku akan melepaskan genggamannya. Ketika dia baik-baik saja tanpaku, aku akan melepaskan pelukannya. Ketika sudah tak ada keinginannya untuk mengingatku, kupastikan aku sudah benar-benar jauh. Dia hadir seperti jingga yang mewarnai senjaku meskipun hanya sesaat.

***

Walau baru seumur jagung bergabung dengan EO, namun aku tidak berangkat dari nol. Ketika segala yang kukerjakan dianggap salah dan semua yang kulakukan dinilai keliru tanpa solusi untuk memperbaikinya, maka tidak ada alasan lagi buatku untuk memaksakan diri bertahan. Juga sebagai bentuk tanggung jawabku karena tidak maksimal melaksanakan pekerjaan.

Sebagai  konsekuensinya setelah semua laporan pertanggung jawaban selesai kuserahkan maka aku kirimkan pula surat pengunduran diri. Iya betul, aku harus resign dari event organizer dan memutuskan kembali ke Bandung, itu artinya aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan Mirna, Bude juga Dhanan.

Sengaja kurahasiakan rencana resign sampai pak Tiesna terlihat menyesalkan keputusanku akhirnya menyetujui surat pengunduran diri meskipun harus menunggu sepekan lamanya.

"Berapa lama kamu di Bandung Nak, kapan kamu kembali ke Jakarta?" tanya Bu Asri.

"Aku sudah memutuskan untuk resign dari EO, mungkin aku tidak akan kembali ke Jakarta dalam waktu dekat ini."

"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu, bagaimana dengan Dhanan?"

"Sangat yakin, maafkan aku yang sudah merepotkan dan mengusik ketenangan Bude dan Mirna."

"Bude juga yakin kamu bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dari Dhanan, lupakan dia!"

"Tidak Bude, aku tidak akan melupakan Dhanan, tapi aku akan menjauhi dia dan aku paham maksud Bude selama ini."

Bu Asri hanya diam ketika aku melangkahkan kaki setelah pamit siang itu. Ada senyum yang tersembunyi di balik raut wajahnya yang bergeming.

***

Menjadi kebiasaanku setiap usai dari sebuah perjalanan selalu merangkai ribuan kata, merangkumnya dalam kisah indah seperti semua cerita pendek mengalir dari jari-jariku yang menari di atas keyboard laptop tetapi tidak untuk kepulanganku sekarang. Hatiku seakan menyangkalnya dan membiarkan kisah itu hilang begitu saja. Memutus segala keinginan untuk membungkusnya dengan romantisme Pulau Dewata.

            Membiasakan diri, memposisikan sebagai teman biasa atau lebih tepatnya menempatkan diri pada tempat yang seharusnya akan lebih baik daripada memaksakan kehendak pada tempat yang dianggap salah. Ingin rasanya memenuhi janji untuk menuliskan semua tentangmu pada kisah yang kutulis. Tapi sudah tidak mungkin bila aku tak pernah menjadi bagian kisahmu.

Aku kembali menekuri aktivitas sebelum bergabung dengan EO, selama berjam-jam berada di depan komputer untuk menterjemahkan dan menuliskan logika pada layar berwarna hitam, berkutat dengan baris-baris script bahasa pemrograman kemudian mendeskripsikannya sehingga sebuah program berjalan seperti yang ku mau. Aku lebih menyukai pekerjaanku melakukan coding. Tapi kamu terlalu sulit untuk kupecahkan, I am a Coder... Tapi belum mampu menuliskan dan memecahkan kisah tentang kita.

Aku mendapati diri terbangun pada senja, tetapi yang terlihat dari balik jendela kamar adalah rinai hujan bukan Jingga, bukan Lembayung di Pantai Pandawa. Dan aku tidak sedang bermimpi.

Denpasar, November 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun