Mohon tunggu...
Fadillah Zubaidah
Fadillah Zubaidah Mohon Tunggu... Apoteker - Fadillah Zubaidah

Mau Cari Info

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Untuk Teman-temin di WA Grup

4 Juni 2019   23:15 Diperbarui: 4 Juni 2019   23:21 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Kenapa saya ga pernah mengucapkan Syafakillah?
 
Di grup kelas sekolah anak, hampir tiap pagi ada yang ijin tidak masuk. Karena sakit seperti demam, batuk pilek, dan sebagainya. Kadang satu anak, dua atau lebih dari tiga.
 
Lalu dalam beberapa menit Ibu-ibu lain menjawab dengan ucapan "Syafakillah ya si A, si B, si C dan D." Secepatnya juga si Ibu yang minta ijin menjawab, "Jazakillah ya ibu-ibu semua atas doanya."
 
Kemudian kalo ada yang ijin, ga berangkat karena sedang perjalanan, yang lain bersahutan komen, "Fi amanillah ya."
 
Di tengah tren ucapan ke arab-araban semacam syafakillah, jazakillah, fi amanillah, qodarullah dll saya memilih tetap memberi ucapan dalam Bahasa Indonesia yang sebisa mungkin sesuai ejaan yang disempurnakan.
 
Ini bukan karena saya menolak pemakaian istilah asing ke dalam percakapan sehari-hari. Apalagi alergi Arab atau anti Islam. Naudzubillah ya. (nih, kan saya tetap pakai Naudzubillah, karena ini susah ngucapnya kalo pake bahasa Indonesia). Bukan juga sekedar, ga mau latah.
 
Jadi kenapa?
Belajar berbahasa Indonesia yang benar saja sejujurnya saya masih merasa kesulitan. Bagaimana saya bisa ikut-ikutan memakai bahasa lain?
 
Saya belajar tata bahasa arab sejak usia 9 tahun di madrasah diniyah. Saya menghafal kitab nahwu paling dasar, "Jurumiyah" dan sharaf "Amtsilatut Tashrifiyah". Di sana, saya mengenal istilah dhomir atau kata ganti untuk menyebut orang. Yang dalam bahasa Indonesia ada " Saya, anda dan dia".
 
Kata ganti orang dalam bahasa Arab itu cukup rumit untuk yang belum pernah belajar.
Diletakkan di depan kalimat dan di belakang bentuknya beda.
 
Contoh:
- Buku Saya (Bahasa Indonesia)
- Kitaabii (Bahasa Arab).
Kenapa buku saya bahasa arabnya bukan "kitaab ana"?
 
Belum lagi ada bentuk mufrod (tunggal), tasniyah (dua) dan jamak (banyak, lebih dari dua). Bahasa arab juga membedakan gender, muanats (perempuan) dan mudzakar (laki-laki).
 
Contoh:
Jika seseorang perempuan satu, bercerita bahwa dia sakit. Kita ingin mengucapkan "lekas sembuh ya" secara langsung kepadanya, kita bilang "Syafakillah" yang artinya semoga Allah menyembuhkanmu (wahai perempuan satu).
 
Tapi kalo yang sakit adalah anaknya, sementara yang di grup adalah ibunya, benarkah kalau kita mengucapkan "Syafakillah"? Kan yang kita doakan anaknya, orang ketiga. Maka seharusnya, " Syafahallah". Semoga allah menyembuhkannya, bukan menyembuhkanmu kan?
 
Nah kalau yang sakit dua orang perempuan, bolehkah kita menyebut, "Syafahallah ya si A dan si B"?
 
Tentu saja tidak bisa. Harus "Syafahumallah" yang artinya, semoga Allah menyembuhkan keduanya perempuan.
 
Kalau yang sakit 3 orang anak perempuan, ucapannya beda lagi.
Kalau yang sakit laki-laki, ucapannya pun harus berubah lagi. Ribet kan?
 
Itu juga berlaku untuk ucapan lain, semisal "Jazakillah ya ibu-ibu semua" seharusnya gimana? Jazakunnallah.
 
Kumpulan ibu-ibu semua pun jadi berubah kalo kemasukan sesebapak satu saja. Jadi Jazakumullah.
 
Jangan tanggung kalau memang ingin kearab-araban. Belajarlah bahasa arab secara kaffah. Bukan sekedar mengganti saya dengan Ana, kamu dengan Anta dll...
 
Ini baru urusan dhomir (kata ganti) belum urusan lain...
 
~(RMH).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun