Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Administrasi - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Belajar Berbagi dengan Memberi

11 Juni 2018   08:10 Diperbarui: 11 Juni 2018   08:20 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-anak menafsirkan lebaran sebagai hari mendapat angpaw atau uang. Begitu pula saya dulu sewaktu masih kecil. Uang lebaran menjadi salah satu yang ditunggu-tunggu selain dari makanan dan minuman khas. Konsep menerima bila ditelisik sebetulnya tidak bisa dijauhkan dari memberi. Artinya saat seorang anak menerima angpaw di benaknya juga terekam di mana ada seseorang yang memainkan peran sebagai pemberi.

Namun, hal menerima itu hanya berhenti sampai saya duduk di bangku SMP, setelahnya tidak ada sanak keluarga yang memberi. Lalu setelah berpenghasilan saya bergantian menjadi pihak pemberi angpaw di tengah-tengah keluarga. Siklus seperti itu sudah dianggap wajar dan diterima baik oleh seluruh anggota keluarga besar. Saat mereka beranjak dewasa tidak ada yang kaget jikalau tidak diberi angpaw. Begitu pula saat sudah berpenghasilan, dengan sendirinya akan memberi balik kepada ponakan-ponakan. Begitulah proses timbal balik bekerja, dulunya diberi sekarang memberi.

Secara tidak langsung, proses memberi uang ke anak-anak di keluarga kami justru diterima sebagai bentuk pengajaran untuk berbagi. Kita diajari memberi dengan cara menerima.

Sewaktu saya bertanya kepada ibu, "Mengapa Ibu memberi uang saat lebaran kepada ponakan-ponakan?" beliau menjawab, "untuk bersedekah, untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain." Dalam pandangan ibu saya, berbagi tidak hanya kepada ponakan atau anak kecil di dalam keluarga, beliau sering menyiapkan amplop untuk diberikan kepada orang tua renta yang hidup sebatang kara, atau yang tidak mampu lagi bekerja atau yang tidak dijenguk anak cucu yang pergi merantau. Bagi Ibu, siapa lagi yang peduli pada mereka kalau bukan kita.

Jadi makna dari salam tempel tentu luas, namun niatan dari kami sama, ingin bersedekah, berbagi rezeki dan kebahagiaan. Beruntungnya dari keluarga mengerti siklus tersebut. Jadi jika ada saudara yang sudah menginjak bangku kuliah biasanya menolak diberi angpaw karena mereka merasa sudah bukan anak kecil lagi. Dan saat sudah berpenghasilan mereka dengan sendirinya membagi kebahagiaan dengan memberi angpaw kepada ponakan-ponakan.

Memang ada yang berpendapat mengapa harus saat lebaran, memberi bisa kapan saja, bukan? Perlu diketahui bahwa tingkat ekonomi keluarga di indonesia itu bermacam-macam. Ada keluarga dengan ekonomi terbatas dan mereka hanya bisa berbagi (dalam artian materi) saat lebaran saja karena mendapat jatah THR, atau pendapatan lebih. Ada juga yang memang terpisah jarak yang jauh, seperti berbeda pulau dan hanya bisa bertemu dengan ponakan mereka saat lebaran tiba.

Memberi bagi kami, sama halnya dengan mengajarkan kepada anak untuk belajar berbagi. Sehingga saat mereka berpenghasilan dan mandiri kelak, akan terbiasa memberi untuk saudara dan orang-orang sekitar yang tidak mampu. Bagi kami salam tempel mengajarkan untuk tidak egois dan selalu melihat keadaan sekitar. Bukan ketidakmandirian, justru kami menyiapkan anak kelak bisa mandiri dengan mampu berbagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun