Mohon tunggu...
Fani Akdiana
Fani Akdiana Mohon Tunggu... Guru - Suka Menulis

Hanya seorang guru di Gunungkidul yang rindu dengan menulis seperti saat kuliah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dialog Socratik: Menumbuhkan Berpikir Kritis Siswa SD tentang Hoaks

20 Oktober 2017   11:06 Diperbarui: 20 Oktober 2017   11:41 1708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: m.viva.co.id

Hoax merupakan kabar bohong yang dapat ditemukan pada berita di media sosial maupun kabar dari orang sekitar. Tidak hanya dapat mengelabui orang dewasa, tetapi siswa Sekolah Dasar (SD) juga dapat memeroleh informasi hoax. Kominfo menyatakan bahwa banyak hoax yang dimunculkan oleh akun-akun di media sosial. Apalagi di era media sosial saat ini, lebih mudah mendapatkan informasi tanpa mengetahui asal muasal informasi tersebut.

Kominfo menyatakan bahwa dari 63 juta penduduk Indonesia yang memakai internet, 95 persen menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Data tersebut membuat prosentase kemungkinan pengguna internet mendapatkan informasi hoax semakin besar. Apalagi untuk pengguna yang berusia siswa Sekolah Dasar, mendapatkan informasi hoax dan terpengaruh olehnya memiliki kemungkinan lebih besar.

Common sense, sebuah media Amerika yang berfokus pada pendidikan anak dan orang tua melakukan survei mengenai kemampuan anak di Amerika usia 10-18 tahun dalam mengidentifikasi hoax. Hasil yang didapatkan dari 853 responden sebanyak 44 persen tidak dapat mengidentifikasi suatu berita hoax atau bukan. Dari survei yang sama, juga ditemukan bahwa 39 persen anak-anak memiliki preferensi untuk mencari berita di media sosial.

Walaupun survei di atas dilaksanakan di Amerika, akan tetapi dengan data bahwa Indonesia adalah pengguna internet peringkat enam di dunia maka hal tersebut juga pasti terjadi di Indonesia. Dewasa ini, siswa Sekolah Dasar sudah dapat mengakses internet dari hp berbasis android milik orang tua maupun milik mereka sendiri. Oleh karena itu, untuk mencegah siswa SD terpengaruh dengan berita hoax maka harus diberi tindakan sejak dini terutama di sekolah yang merupakan lingkungan akademis mereka.

Berdasarkan data di atas bahwa anak-anak memiliki preferensimencari berita maupun informasi di media sosial. Hoax memiliki daya pikat tersendiri baik bagi orang dewasa apalagi siswa Sekolah Dasar. Ciri-ciri hoax yaitu judul yang dicetak tebal dengan huruf kapital dan provokatif dipastikan dapat menarik perhatian siswa Sekolah Dasar. Ketika siswa Sekolah Dasar sudah terpancing dengan berita tersebut maka dipastikan mereka tidak akan memastikan sumber informasi dari berita tersebut.

Mempercayai hoax dapat berpengaruh pada kemampuan siswa untuk mengidentifikasi kebenaran suatu informasi dan dipastikan akan mudah terhasut. Selan itu, hoax dapat menjadi pemicu keresahan di lingkungan siswa sehingga siswa akan lebih mudah takut maupun curiga terhadap hal tertentu.

Oleh karena itu, keterampilan membaca seorang siswa SD dipertanyakan apabila mereka terpengaruh dengan berita hoax. Indikator keterampilan membaca siswa Sekolah Dasar tidak cukup jika hanya diukur bahwa siswa yang sudah dapat membaca memiliki keterampilan membaca yang baik. Akan tetapi, kemampuan siswa untuk memahami isi bacaan tersebut juga diperlukan. Apalagi dengan peringkat keterampilan membaca siswa Indonesia menurut PISA 2012 yang berada di peringkat bawah maka diperlukan siswa Sekolah Dasar yang dapat memahami isi bacaan daripada dapat membaca tetapi hanya terpikat dengan judulnya saja.

Kemampuan siswa dalam memahami isi bacaan dan untuk dapat mengidentifikasi hoax membutuhkan keterampilan membaca lanjut. Keterampilan ini berhubungan dengan siswa mengkritisi isi bacaan suatu informasi. Dengan kata lain, untuk dapat mengidentifikasi hoax siswa membutuhkan  keterampilan berpikir kritis. Walker (2015: 19) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan untuk mendapatkan informasi dan mengolah informasi tersebut sendiri untuk memecahkan masalah.

Keterampilan berpikir kritis tidak dapat diperoleh dari kegiatan pembelajaran yang hanya satu arah dan keterampilan berpikir rendah. Berdasarkan UU No 23 tahun 2003, pembelajaran merupakan komunikasi dua arah. Dengan demikian, terjadi interaksi antara guru dan siswa.  

Untuk dapat berpikir kritis, guru harus memancing siswa untuk melakukan proses berpikir tinggi. Komunikasi dua arah yang menciptkan interaksi antara guru dan siswa dapat digunakan untuk membantu siswa berpikir kritis. Dengan demikian, siswa dapat terlatih untuk dapat mengkritisi suatu informasi.

Interaksi yang dapat dilakukan oleh guru agar siswa terlatih berpikir kritis adalah dialog socratik. Dialog socratik merupakan dialog antar guru dengan siswa berisi pertanyaan -- pertanyaan socratik untuk dijawab siswa.  Pertanyaan socratik menurut I Wayan Redhana (2012: 354) merupakan pertanyaan yang diberikan untuk melatih keterampilan berpikir kritis siswa. Pertanyaan ini berisi bertujuan untuk meminta klarifikasi, menyelidiki asumsi, menyelidiki bukti dan alasan, meminta pendapat, dan menimbulkan pertanyaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun