Mohon tunggu...
Bayu Aristianto
Bayu Aristianto Mohon Tunggu... Dosen - Kuasa atas diri adalah awal memahami eksistensi

Menulis, proses pengabadian diri di tengah kesemuan hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menagih Janji Demokrasi

19 Januari 2023   14:30 Diperbarui: 19 Januari 2023   14:30 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kebebasan berpendapat, apapun ragam bentuknya adalah hak melekat bagi manusia dengan porsi dan takaran yang setara. Kelas buruh kota, petani, pejabat, akademisi, konglomerat, pebisnis, hingga rakyat kecil memperoleh hak bersuara yang sama. "if a person cannot speak of his own free will, then that person can't do whatever he wants", kata Marcus Porcius Cato (1993, Article 19). Keberpihakan terhadap kebebasan berekspresi selalu hadir dengan cita-cita mulia terhadap kemanusiaan. Tanpa adanya ruang kebebasan, manusia layaknya penghuni kehampaan, tidak memiliki motivasi dan tujuan, karena menjauh dari substansi kemanusiaanya.

Demokrasi merupakan pengejawantahan dari keluhuran atas penghormatan terhadap kemanusiaan. Manusia sebagai entitas terkecil dari kehidupan sosial-kerakyatan, menjadi pijakan terwujudnya kehidupan atas dasar toleransi, kedamaian, kerukunan, dan cinta kasih. Inti ide demokrasi adalah kedaulatan rakyat, Vox Populi, Vox Dei, sekali lagi dengan komitmen bersama, rakyat berkumpul untuk menghadirkan kesejahteraan dan keadilan. Mengikis peluang tirani minoritas dan mengeliminasi terjadinya dominasi mayoritas.

Negeri ini telah melahirkan Konstitusi sebagai pilar kehidupan bangsa dan konsensus untuk mengelorakan janji demokrasi yang telah diamanahkan pendiri bangsa. Keterpanggilan itu tercermin pada upaya memberikan kesempatan dan ruang yang sama kepada siapapun untuk memilih dan dipilih mewakili suara rakyat.

Meskipun demikian iklim demokrasi kita masih belum kondusif. Pelanggaran terhadap kemanusiaan kerap terjadi dengan mengatasnamakan kebebasaan. Seperti, upaya paksa menutup tempat ibadah dengan argumentasi "kesepakatan rakyat" seringkali akhirnya mengorbankan kebebasan orang lain. Yang jadi persoalan adalah kita lupa bahwa hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain, seorang boleh mengekspresikan diri sedemikian rupa, namun ekspresinya juga harus menghormati hak dan kebebasan orang lain. Kemudian hal lain yang seringkali terabaikan adalah tindakan diskriminatif dengan memaksakan kehendak bahkan menggunakan atribut negara dan kerapkali menjurus pada tindakan kekerasan verbal maupun non-verbal.

Komentar beberapa pihak bahwa kedewasaan hidup berdemokrasi di negeri inilah yang menjadi musabab seringnya terjadi kekerasaaan mengatasnamakan kepentingan segolongan pihak atas pihak lainnya, ada benarnya. Kurangnya budaya literasi, ditambah maraknya gelombang informasi dari jagad media sosial menciptakan keriuhan di ruang publik namun minus logika dan nalar argumentatif, yang akhirnya hanya menghadirkan perpecahan dan dikotomi sosial yang semakin menganga.

Lihat bagaimana dari tahun ke tahun indeks Demokrasi Indonesia semakin mengkhawatirkan. Indikator Penggunaan Ancaman / kekerasan oleh masyarakat terhadap kebebasan berkumpul dan berserikat terus naik dari 82,35 (2018), 83,82 (2019), hingga 86,95 (2020) di lain sisi indikator Penggunaan Ancaman / kekerasaan oleh aparat Pemerintah tidak memperlihatkan gejala penurunan, 86,76 (2020) (Sumber : BPS, 2020). Artinya di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan penggunaan tindakan pemaksaan dan ancaman terus meningkat.  

Pada akhirnya, lemahnya kebebasan berpendapat berdampak buruk untuk semua tidak hanya bagi wong cilik, melainkan golongan elite sekalipun. Kebebasan berpendapat yang terus mengalami kemunduran  bahkan kebablasan akan merobek-robek ikatan kemanusiaan, keagamaan, dan kebangsaan yang telah terajut harmonis di atas pilar kebhinekaan.

Bahaya lemahnya kebebasan berpendapat bagi kelangsungan kehidupan berbagsa semestinya menggugah hati Nurani manusia, sebagai hakim dan otoritas tertinggi untuk menjiwai kesadaran kolektif bahwa kita adalah satu dan setara, hidup saling tergantung satu sama lain, dan terhubung secara emosional di dalam ikatan kemanusiaan, keagamaan, serta kebangsaan yang inklusif dan universal.

Inilah saat yang tepat bagi kita untuk bertegur sapa, berprasangka positif, berkolaborasi, dan bertindak secara kolektifguna melunasi janji-janji demokrasi yang telah terabaikan selama ini agar terwujud masyarakat yang egaliter, adil, dan sejahtera.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun