Mohon tunggu...
Bayu Aristianto
Bayu Aristianto Mohon Tunggu... Dosen - Kuasa atas diri adalah awal memahami eksistensi

Menulis, proses pengabadian diri di tengah kesemuan hidup

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Pesona Naturalisasi dan Politik Sepakbola

18 Januari 2022   12:24 Diperbarui: 18 Januari 2022   12:57 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau yang dimaksud adalah meraih piala AFF 2020, maka boleh jadi pelatih Shin Tae-Yong (STY) mesti mangkat dari kursi kepelatihan timnas Indonesia. Karena diakui Kini Indonesia secara sah menyanding mahkota sebagai raja "Runner Up" kompetisi sepakbola terbesar di Asia Tenggara. Bayangkan Indonesia telah berlaga di partai final piala AFF sebanyak enam kali, namun belum pernah sekali pun mencicipi trofi turnamen ini.

Tapi Kalau kehadiran STY untuk mereformasi budaya sepakbola dan merombak secara substansial pola pikir dan mental pemain agar terbentuk karakter pejuang dengan kekuatan fisik sepanjang 90 menit, maka pekerjaan rumah STY mesti berlanjut di Timnas Indonesia.

Sejak ditangani Benny Dollo (2000, 2008-2010), kemudian Ivan Kolev (2002-2004), Peter White (2004-2007) lalu Afred Riedl (2010, 2013, 2016), secara beruntun kursi kepelatihan berpindah dalam bilangan tahun. Jacksen F. Tiago (2013), Peter Huistra (2015) Luis Milla (2017), Bima Sakti (2018), Simon McMenemy (2019), adalah nama beken di jagad kepelatihan yang hanya mampu merasakan panasnya kursi kepelatihan seumur jagung.

Tersirat makna bahwa PSSI sebagai induk organisasi sepakbola resmi di tanah air, merombak pelatih sebagai bagian dari gengsi tinggi sekaligus meraih hasil instan sebagai tim sepabola yang disegani minimal di ASEAN.

Rakyat Indonesia pencinta bola, menganggap bahwa timnas adalah marwah bangsa, garda terdepan untuk membanggakan diri dan bentuk nasionalisme nyata untuk mendukung ibu pertiwi. Bahkan politisi sekalipun menjadikan sepakbola sebagai junjungan untuk menilai patriotisme. Lalu apa yang salah dengan pola pikir instan tadi? Bukankah mengangkat trofi kemenangan adalah cadradimuka dari semua perjuangan yang dilakukan? Proses adalah jalan menuju hasil yang entah sampai kapan, namun trofi adalah sejarah, dia ditulis dengan tinta emas sebagai pemiliki momen kemenangan.

Kredo "Sepakbola adalah Politik" terasa nyata diperbincangkan. Kepentingan dan dominasi adalah jalur lurus tanpa hambatan untuk meraih kekuasaan. Menganggap sepakbola sebagai olahraga tubuh an sich, adalah bentuk sinisme terhadap banyaknya kepentingan yang beradu di luar lapangan hijau. Ternyata sepakbola tidak lebih mudah dari bayangan kita selama ini, dia tidak terhenti saat peluit panjang terdengar, akan tetapi marak dan terkonstruksi sebagai bagian dari jiwa nasionalisme.

...

Euforia Naturalisasi

Tentu pelatih dalam skema formasi pemainnya, memahami kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Pelatih berhak mengganti dan memasukan pemain, berdasarkan pada analisis dan intuisinya. Meskipun demikian seorang pelatih perlu disokong oleh kemauan otoritas tertinggi yang dalam hal ini adalah PSSI / Pemerintah untuk secara legowo membiarkan pelatih "bermain" dengan skemanya tanpa dipengaruhi oleh kepentingan di luar sepakbola.

Hangat mengemuka ketika Anggota Eksekutif (Exco) PSSI Haruna Soemitro melempar kritik pedas terhadap STY, mempertanyakan hasil yang telah didapatkan dari program naturalisasi di era kepelatihan Shin Tae-Yong. Naturalisasi di PSSI bukan barang baru, lihat saja nama sekelas Cristian Gonzales, Greg Nwokolo, Bio Paulin, Viktor Igbonefo, Ilija Spasojevic yang tidak memiliki darah keturunan Indonesia, atau Stefano Lilipaly, Ruben Wuabanar, Irfan Bachdim, Diego Michiels, dan Kim Kurniawan yang masih mempunyai darah Indonesia dari garis ayah/ibu

Keputusan STY menarik "prajurit Eropa" sekelas Jordi Amat (KAS Eupen) dan Sandy Walsh (KV Machelen), menurut beberapa pihak adalah keputusan yang tepat, melihat posisi keduanya sebagai jangkar, dimana Amat berposisi sebagai bek tengah dan Sandy Walsh berperan di fullback kanan, akan menambal kelemahan pertahanan timnas. Lihat saja saat turnamet AFF 2021 lalu, pertahanan Indonesia digempur habis-habisan oleh Thailand dan Vietnam, walau memiliki Elkan Baggott (Ipswich Town) tidak dapat mengimbangi serangan kedua negara yang memiliki penetrasi dan umpan pendek yang cepat, ditambah kelincahan dan mobilitas tinggi dari lapis kedua pemain masing-masing negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun