Ketegangan kembali meningkat di Teluk Persia setelah Parlemen Iran menyuarakan dukungan terhadap penutupan Selat Hormuz, sebagai bentuk reaksi terhadap dugaan keterlibatan Amerika Serikat dalam serangan terhadap fasilitas nuklir Iran beberapa waktu lalu. Meskipun keputusan final masih berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Iran, sinyal politik ini tidak bisa dianggap remeh.
Selat Hormuz adalah jalur laut paling strategis di dunia. Sekitar 20% konsumsi minyak global atau lebih dari 20 juta barel per hari---melewati selat sempit ini. Penutupan selat bukan hanya akan memicu lonjakan harga minyak dunia, tapi juga bisa mengganggu stabilitas logistik, energi, dan keamanan global.
Realitas Geopolitik: Antara Simbolisme dan Efek Domino
Iran tidak perlu benar-benar memblokir Selat Hormuz sepenuhnya untuk menciptakan guncangan. Cukup dengan mengeluarkan pernyataan agresif atau melakukan patroli militer intensif di sekitar selat, pasar global sudah akan merespons.
Dengan kekuatan asimetris seperti rudal anti-kapal, drone, dan armada laut kecil, Iran secara strategis memainkan kartu tekanan terhadap negara-negara Barat. Tapi dalam konteks ini, ancaman bukan hanya bersifat militer. Ada dimensi lain yang lebih kompleks: perang narasi dan peran diplomasi global.
Diplomasi Multilateral: Menghindari Polarisasi Total
Di tengah konflik ini, diplomasi multilateral justru menjadi alat yang paling penting namun sering diremehkan. Terlepas dari rivalitas AS--Iran, aktor-aktor lain seperti Uni Eropa, negara-negara GCC (Gulf Cooperation Council), dan bahkan Tiongkok ikut masuk ke dalam perhitungan strategis.
Reuters (2024) melaporkan bahwa Amerika Serikat secara langsung meminta Tiongkok untuk menahan Iran, memanfaatkan relasi energi dan kerja sama ekonomi kedua negara. Uni Eropa pun menyatakan bahwa potensi penutupan selat adalah "sangat berbahaya dan tidak bisa dibenarkan secara hukum internasional".
Pola ini menunjukkan bahwa tekanan tidak hanya datang dari Barat, tetapi juga dari mitra dagang utama Iran sendiri. Inilah dinamika unik diplomasi abad ke-21: lawan militer bisa jadi mitra dagang; dan negara-negara yang netral secara politik bisa memainkan peran penengah secara diplomatis.
Negara Menengah dan Peran "Bridge Builder"