Mohon tunggu...
Tante Paku  A.k.a Stefanus Toni
Tante Paku A.k.a Stefanus Toni Mohon Tunggu... wiraswasta -

Membaca dan menulis hanya ingin tahu kebodohanku sendiri. Karena semakin banyak membaca, akan terlihat betapa masih bodohnya aku ini. Dengan menulis aku bisa sedikit mengurangi beban itu. Salam, i love you full.....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Luka Karena Cinta Adalah Luka yang Paling Nikmat (2)

30 September 2014   15:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:57 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah membaca beberapa tulisan sahabat tuaku ini, saya jadi ragu bila beliau tidak bisa menggunakan Laptop atau komputer, saya hanya berpikir memang beliau ingin memanfaatkan buku-buku tulis bekas dari anak dan cucunya untuk dimanfaatkan dengan tulisan-tulisannya. Membaca karya tulisnya saya semakin hanyut dalam kisah pengalaman hidupnya itu, berikut ini tulisan sambungannya yang menceritakan tentang cinta. Luka karena cinta adalah luka yang paling nikmat By Purnomo Ketika 2 orang jatuh cinta, dunia mendadak mengerut drastis. Rasanya di dunia ini tidak ada orang lain kecuali diri mereka berdua. Orangtua, handai taulan, teman-teman, rekan-rekan kerja dianggap tidak ada. Perkataan atau nasihat orang-orang di sekitarnya terdengar seperti suara angin semilir. Mereka lupa ada orang-orang yang hidup dekat dengan mereka, yang akan ikut terlibat apabila percintaan ini sudah mengarah ke sebuah titik, pernikahan. Bagi orang Kristen sebuah pernikahan hanya boleh terjadi satu kali sepanjang hidup. Pernikahan adalah titik di mana yang bersangkutan tidak bisa melangkah balik. Karena itu orang-orang dekat mereka akan berusaha mengingatkan apabila dalam merajut kisah kasih mereka lupa untuk melihat, apalagi mulai menyiasati, perbedaan-perbedaan di antara mereka yang kelak berpotensi merusak kisah pacaran mereka, terlebih lagi mengandaskan bahtera perkawinannya. Mereka tidak ingin kita menuruti anjuran konyol Kahlil Gibran yang mengatakan, “Jika cinta sudah memanggilmu, pasrahlah dan menyerahlah walau pisau di balik sayapnya akan melukaimu.” Mereka akan berusaha membangunkan kita dari mimpi indah apa pun risikonya. Teman sejati tidak pernah menghalangi Anda, kecuali ketika Anda berjalan menuju jurang. Jika kita tidak berpendapat, “Luka karena cinta adalah luka yang paling nikmat,” marilah kita duduk sejenak menelisik perbedaan-perbedaan yang mungkin ada yang selama ini luput dari perhatian kita. Bukan untuk mendapatkan alasan memecat kekasih kita, tetapi untuk bersama mencari solusinya. Suatu malam saya diajak Pak Pendeta melayat seorang jemaat Tapanulinya yang meninggal. Ada peralatan orkes di sebuah panggung di depan rumah. Begitu rombongan kami tiba, para musisi memainkan sebuah lagu rohani. Oleh tuan rumah kami dipersilakan masuk ke rumah. Ruang depan itu kira-kira berukuran 4 x 5 meter dan lantainya ditutup tikar. Kami duduk berkeliling bersandar dinding. Setelah duduk baru saya menyadari yang ada dekat di depan saya bukanlah sebuah peti mati, tetapi sebuah tempat tidur kayu berkaki pendek. Di atas dibaringkan jenasah ibu tuan rumah. Tubuhnya ditutup selimut sampai ke dada, wajahnya ditutup kain tipis transparan. Saya merinding. Saya menoleh sekeliling melihat wajah teman-teman. Mereka tampak santai. Tentu saja, mereka berasal dari etnis yang sama dengan almarhumah. Sedangkan saya? Inilah pengalaman pertama saya di Medan. Seorang nenek masuk dan duduk bersimpuh dekat kepala jenasah. Ia menyingkap kain penutup wajah almarhumah sehingga saya ikut melihatnya. Ia membelai wajah itu dengan sayang. Mencium dahinya. Lembut mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak saya kenal di telinganya. Menggumankan sebuah lagu. Kasih yang ditunjukkan membuat saya berpikir ia adik almarhumah. Ia menutup kembali wajah itu dengan kain. Syukurlah, saya lega. Kalau saja ia lupa, pasti malam itu saya akan mendapat mimpi indah. Nenek itu masuk ke dalam. Sesaat kemudian ia keluar membawa setumpuk piring kaleng dan membagi-bagikan kepada kami. Bersama dengan 2 orang, nenek juga membagikan nasi dan lauk. Lamat-lamat saya mencium bau formalin. “Aduh Nenek, sudahkah tadi di belakang Nenek mencuci tangan dengan sabun?” tanya saya dalam hati. “Saya keluar saja. Saya sudah makan,” bisik saya ke tetangga sebelah yang penatua. “Jikalau piring sudah dibagi, apalagi oleh keluarga tuan rumah, jangan menolak makan,” ia balas berbisik. “Bagi orang Batak, itu penghinaan yang tidak termaafkan.” Kasihanilah saya ya Tuhan, kuatkanlah tubuh ini agar mual tidak menggocoh perut hamba ketika menelan hidangan ini. Waktu kami pulang, saya melihat banyak pelayat duduk di luar rumah. Beberapa orang menyalami kami. Agaknya mereka kerabat dekat almarhumah. “Jika saja sebelum berangkat tadi saya tahu duduk di luar rumah bukan sebuah ketidaksopanan, pasti saya tidak mengalami penyiksaan batin. Malah saya bisa belajar jadi singer,” kata saya kepada penatua itu. Ia terkekeh. Karena itu kemudian saya rajin bertanya kepada teman-teman dari etnis ini apabila saya akan melayat sehingga saya bisa mendatangi keluarga yang berduka dengan nyaman tanpa membuat mereka tersinggung. (Bersambung) Catatan sebelumnya : 1. Si Tua yang Menulis Catatan di Buku Bekas (1) Sumber gambar : afrievek.blogspot.com, musttain.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun