Mohon tunggu...
Ronald Reagen
Ronald Reagen Mohon Tunggu... Freelancer - Ayah dari 2 orang anak

memiliki tinggi 170 cm. berat badan 67 kilogram..mata sipit, hidung gede, mulut lebar plus tebal,kulit putih bersih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Atas Nama Harapan

15 Desember 2019   15:54 Diperbarui: 15 Desember 2019   15:52 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Harapan, bagaimana kalimat ini muncul ke kehidupan manusia? Jawaban paling fiksi bisa kita tentukan bahwa; Harapan masuk dengan mengetuk pintu imaji untuk bangkit kembali bagi yang terjatuh, atau memaksa menghirup nafas yang dalam saat masalah menimpa bertub-tubi.

Ajaibnya, harapan bisa juga menjadi stimulus. Dia secara tiba-tiba datang mendorong keinginan untuk melompat lebih jauh sambil diintai oleh keputus-asaan.

Demikian seorang Jana Zawahra, di Jub-Eltib, Palestina, sebelah timur kota Betlehem. Tangis harapan Jana turun membasahi debu pasca pengeboman sekolah mereka oleh militer israel. kesabaran masuk kedalam dadanya yang bersedih. Jana dipaksa harus menekan waktu demi bisa menghapal teks-teks perdamaian yang, mungkin sempat mereka baca disekolah mereka yang telah rata dengan tanah.
Ya, mereka baru bisa menemukan perdamaian pada teks buku sekolah mereka, yang tentu saja ikut terbakar.

Jana Zawahra adalah anak kecil dalam pemahaman kita yang jamak tentang perdamaian dan peluru. Ditengah tawa mereka yang dengan cepat bisa hidup kembali saat bertemu dengan teman sepermainan. Atau tiba-tiba Percikan sedih datang kembali menginterupsi tawa tersebut, lalu redup sebentar ketika peluru sedang istirahat. kita bisa melihat harapan mereka tumbuh didalam perpaduan, ancaman kematian, kesedihan dan tawa.

Seorang Ibtisam Sami berujar tentang kesenangan dia bersekola! Ya senang bersekolah dengan tetangga senapan dan beberapa biji granat yang berada disabuk tentara israel. dia memantik harapan pada kesenangannya bermain sambil, lagi-lagi di intai oleh peluru.
harapan mereka tidak pupus atau mengering. bisa jadi inilah yang membuat mereka masih bisa tertawa senang. karena harapan yang masih subur tumbuh didada mereka yang berbau mesiu.

Dunia berjalan begitu anehnya? Entah mengapa kita masih bisa berucap tentang cinta yang universal, atau bahasa-bahasa kemanusian yang sangat gampang sekali kita menghapalnya. entah? Kebingungan kita mungkin belum bertemu dengan debu dari runtuhnya bangunan akibat terkena lemparan mortil perang di kawasan Aleppo-Suriah. ya saya kira, paru-paru kita baru di interupsi oleh asap rokok! mungkin suatu saat kita membutuhkan asupan karbon dioksida dari sisa ledakan bom, yang biasa menghiasi dinding paru-paru para anak Aleppo.

Namun, dalam drama kehidupan, tentang kepasrahan. Seeorang Socrates atau kesediaan para pengagum cinta dari epos tua drama kehidupan Athena, membuktikan tingkat kesahihan harapan tetap mampu menemani kehidupan, walaupun kematian telah menunggu. socrates telah membuktikan hal ini. pergunjingan tentang masalah salah dan benar tidak mampu melahirkan posisi saling bisa hidup. karena harapan juga bicara tentang Kemenangan! kemenangan tidak akan didapatkan didalam bahasa secara tiba-tiba, jika tidak ada sesuatu yang kalah.

Atas nama kemanusian, atas nama kehidupan, perang hadir sebagai jalan dalam memuluskan semuanya-bukankah perang juga tumbuh dari harapan? pencemaran lingkungan dari industri berbahan bakar fosil tetap bertahan, setidaknya mengecil secara volume, dan didalam volume penggunaan energi fosil ini juga ada harapan yang tumbuh, entah itu atas nama kemajuan, pendapatan, pajak ata peradaban.

Tetapi tragedi selalu masuk kedalam panggung harapan. pemberontakan ataupun opsi perlawanan terhadap kebijakan beradu, beranak pinak didalam masalah para pihak yang sedang mengAgungkan harapanna - sudah tentu perkara ini adalah pergumulan harapan.

Perang mazhab, ataupun pemakzulan, disertai dengan bid'ah pengetahuan, atas nama kekokohan teori dan anggapan bahwa "saya" lah dalam tataran ego mengemuka dalam supremasi. menentukan dimanapun titik persinggungan, lagi-lagi atas nama kemanusian dan harapan kita saling mengepalkan tinju - pertanda pertarungan dimulai.

Jadi entah bagaimana ceritanya, jika harapan kita letakkan di panggung peradaban, dalam rasa kasihan sambil membunuh? atau cinta yang gamang dalam pemandangan! tidak lebih baikkah perkiraan antara Egoisme dan harapan?, entah siapa diantara dua bagian ini Yang mendominasi?

Setidaknya kita tahu, Atas nama harapan, perang, perdamaian berkelindan didalam Istilah cinta!
bukankah Cinta juga bermakna harapan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun