Dulu kau wanita pujaan lelaki. Parasmu yang elok membuat pria jatuh hati. Banyak pria menaruh harapan padamu. Kau ibarat bunga mawar yang merekah.Â
Wangimu menabur keseluruh jagat ini. Tubuhmu semampai membuat pria terbius dan ingin memetikmu. Kau bangga dengan paras elokmu dan semampai tubuhmu. Lenggak -lenggokmu bila berjalan membuat pria tak kedip melihatmu.Â
Kini kau semakin lupa diri dengan penciptaMu. Kau tidak mensyukurin anugrah yang dititipkan padamu. Kau semakin menabur pesona ke setiap lelaki. Kau tak menyadari banyak lelaki iseng berhasrat padamu. Dia ingin mengisap sarimu.Â
Tapi kau tak menyadari itu semua. Kau semakin jauh melangkah dengan membusungkan dadamu. Pada akhirnya pilihanmu jatuh ke satu pria yang menurutmu pantas untuk menemani hidupmu sampai ajal menjemputmu. Hari-hari  biduk rumah tanggamu dipenuhi dengan kebahagiaan.Â
Pada akhirnya lahirlah hasil buah cintamu anak-anak yang lucu dan mungil. Tapi semua itu bukan menambah kebahagiaan dalam bidukmu. Nahkodamu mulai goyah  dan oleng di sapu angin dan badai di tengah lautan.Â
Kepercayaan yang selama ini kau beri mulai pudar bersama ditelannya waktu. Lelakimu mulai tergoda dengan mawar yang lebih cantik dan wangi. Kau mulai tersakiti dengan ulahnya. Lelakimu tidak setia lagi. Dia mulai menabur pesonanya dengan mawar-mawar yang lebih  segar .Â
Kini biduk rumah tanggamu semakin terancam oleh derasnya terjangan badai. Pada akhirnya kau tak mampu menahan gelombang yang begitu deras dan bertubi-tubi menghantammu. Hingga meja hijau agama menjadi saksi bisu bidukmu.