Mohon tunggu...
Rizki Zulfitri
Rizki Zulfitri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sarjana Pendidikan Olah Raga | Atlet Sepak Bola Amatir | Blogger: http://rizkizulfitri-kiena.blogspot.com/ | Tertarik dengan jurnalistik dan masih belajar menjadi penulis yang baik dan benar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Wahai Kaum Muda, Mari Menulis Politik!

12 September 2014   04:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:56 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_342257" align="aligncenter" width="630" caption="Peserta workshop blogger dan aktivis media sosial yang diadakan ACSTF (Dok. ACSTF)"][/caption]

Tahun ini kita sibukkan dengan sebuah hajatan besar. Ya, Pemilihan Umum (Pemilu) itu telah berakhir beberapa waktu lalu. Sebuah pesta demokrasi lima tahun sekali yang menjadi sarana kita menyaring para Wakil Rakyat dan Presiden sebagai aktor utama yang menjalankan roda pemerintahan negeri ini.

Pada prosesnya pelaksanaan Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) belum seperti yang sama-sama kita impikan, tapi paling tidak kita telah sukses menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang besar nan demokratis.

Entah apa jadinya negeri ini jika Pemilu tak terselenggara. Dengan cara apa kita memilih para wakil dan pemimpin negeri tercinta ini. Apakah kita akan berubah menjadi sebuah negara Monarki layaknya Saudi Arabia atau Britania Raya yang segalanya diatur dan ditentukan oleh kerajaan. Lalu di mana letak kedaulatan rakyat?

Rakyat sebagai puncak tertinggi dalam kehidupan bernegara harus tetaplah menjadi raja di atas raja. Seperti bunyi kata “demokrasi” yang bermakna kekuasaan rakyat. Seorang Abraham Lincoln dengan lantang mendefinisikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Wikipedia).

Sudah sepantasnya kita membangun komitmen bersama menjaga kedemokratisan bangsa ini. Berkah demokrasi ini harus di jaga dan dipelihara. Tak ada satu pihak pun yang bisa mengganggu kemapanan demokrasi bangsa Indonesia.

***

Ini adalah artikel pertama saya yang bernuansa politik. Saya bukanlah orang yang begitu mafhum dengan dunia perpolitikan. Latar belakang pendidikan saya juga tak menunjukkan kompetensi di bidang tersebut. Namun akhir-akhir ini jari-jemari seakan “gatal” untuk menari-nari, merangkai kata demi kata tentang materi yang tak biasa.

Ya, saya mulai menulis tentang politik. Materi yang dulu saya anggap berat dan tak mencerminkan kompetensi yang saya miliki sama sekali. Bermula mengikuti program pelatihan Blogger yang diadakan oleh sebuah LSM yang konsern di bidang politik Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF) Maret lalu, saya begitu banyak mendapatkan pendidikan politik.

Politik tak serumit itu, begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan ACSTF kepada kaum muda. Pengetahuan itu merangsang saya sebagai blogger untuk menuliskan apa saja tentang politik sejauh itu bermanfaat.

14104457751982397449
14104457751982397449

Walau hanya memulai menulis sebuah opini dangkal yang masih sangat jauh dan tak sehebat para kolomnis politik yang tulisannya berulang kali dimuat di media terkemuka. Saya hanya ingin mencoba mengeluarkan pendapat yang terlintas di kepala. Dengan sedikit harapan ada orang di luar sana yang sependapat dengan gagasan saya.

Kadang timbul rasa takut salah. Sering juga terbayang tulisan ini dibaca oleh pakar politik dan mereka sedang tertawa terbahak-bahak setelah membaca apa yang saya tulis. Tapi apakah hanya orang politik berhak mengutarakan uneg-unegnya dalam memandang sebuah peristiwa politik. Ataukah saya harus menguasai seluruh materi terkait perpolitikan dan seorang guru besar politik memberikan sejenis lisensi untuk saya dapat berhak memulai menulis politik.

Bukankah UUD 1945 sebagai pedoman negara telah menjamin kebebasan warganya mengeluarkan pendapat. Kenapa mesti takut? Bilamana ada pendapat yang keliru, atau ada pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan tata cara berpolitik. Toh, semua orang pernah salah. Disinilah peran para pakar untuk melakukan koreksi ataupun pembenaran bukan menertawakan bahkan menjastifikasi.

***

Pada awalnya saya sama saja seperti anak muda pada umumnya. Kami anak muda begitu apatis dengan dunia perpolitikan. Perbincangan tentang persoalan politik adalah sesuatu yang paling kami hindari. Kadang jika ada seorang teman iseng membaca kolom surat kabar yang memuat berita politik maka akan ada teman lainnya yang nyeletuk dengan nada ejekan.

“Ah, sok politik,” atau “Mau jadi politikus ya…?”

Tapi itu dulu. Seiring perjalanan hidup dan ditambah dengan pemikiran yang semakin matang. Politik pun bagaikan bumbu kehidupan yang sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup itu sendiri. Perkembangan media informasi seperti televisi dan media sosial memberikan angin segar, Para kaum muda semakin mudah menyerap pemahaman politik dengan cara yang menarik.

=====

Rizki Zulfitri, S.Pd

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun