Mohon tunggu...
Dara Raihatul Jannah
Dara Raihatul Jannah Mohon Tunggu... Human Resources - lihat lalu tulis, dengar lalu tulis, baca lalu tulis.

Book enthusiast! Senang menulis POV tentang buku-buku yang sudah dibaca.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Racun Kasat Mata

7 Agustus 2021   22:16 Diperbarui: 7 Agustus 2021   22:19 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

(Cerita Toxic Positivity-ku)

Semenjak usia 20 tahunan ku mulai menuju 21, aku sering menghabiskan waktu sendirian (me time) dengan scrolling instagram dan fokus menyerap informasi dari akun-akun yang ngasih pandangan tentang self improvement. 

Aku nemuin satu konten yang nyinggung tentang toxic positivity untuk pertama kalinya. Setelah dengar istilah itu, aku merasa  relate dengan apa yang pernah aku lakuin dan aku terima dari orang lain terhadap diriku.

Penasaran dengan hal itu, aku lanjut cari artikel yang jelasin lebih detail tentang Toxic Positivity, si racun positif. Dari beberapa referensi yang aku baca, kesimpulan yang aku dapat bahwa Toxic Positivity muncul saat kita terlalu positif bahkan dikondisi yang seharusnya kita menerima bahwa emosi lagi ga baik-baik aja  adalah perasaan yang wajar dan kita harus beri waktu jeda untuk itu. 

Positif udah pasti kata yang baik, merepresentasikan kedamain, tapi adakalanya kita bakalan ngejahatin diri sendiri atau bahkan berprilaku ga adil ke orang lain saat timing positif itu engga saatnya dan kapasitasnya berlebih.

Kalau dipikir dalam ilmu psikologi dijelasin berbagai jenis emosi kan, nah itu fungsinya untuk apa? Ya menurutku untuk kita kenalin, saat satu diantaranya terjadi di diri kita dan orang disekitar, kita ngerti respon apa yang tepat dan seharusnya kita berikan. 

Contoh saat diri kita lagi merasa jatuh banget karena gak diterima di satupun universitas negeri yang kita apply, terus cerita deh ke teman dekat dan waktu kita ungkapain tuh rasa kecewa dan sedihnya ke si teman, serta merta teman nya bilang gini 'Itu artinya kamu harus berjuang lebih keras lagi, kamu harus semangat lagi, masih ada waktu jadi jangan buang-buang waktu untuk ngeratapin itu sekarang mending fokus lagi untuk apply di universitas lain'. 

Sekilas saran dari si teman bener kok bahkan dia semangatin, memotivasi, tapi dengan kondisi kita yang masih down dan butuh rehat sejenak untuk sadar dengan kegagalan yang baru kita terima, itu bisa jadi racun yang bikin diri  makin merasa bersalah karena udah sedih. Padahal emosi sedih itu harus dilepas (dieskpresikan) untuk numbuhin semangat baru dan bisa memulai lagi.

Ada baiknya saat ada teman yang cerita ke kita, kita jadi tempat dia untuk keluarin uneg-unegnya, dengar aja semua emosi yang mau diluapin, terus pastikan apa dia benar okey okey aja atau ada yang dia butuhkan. Untuk ngasih saran juga baiknya tanya dulu ke orangnya apa dia butuh atau engga. 

Kedengarnya gampang ya, karena aku nulis-nulis aja hehehe. Tapi aku juga yakin itu sulit, untuk kita bisa memahami segala kondisi yang datang ke kita juga. Jadi, mulai pelan-pelan aja. 

Mulai terbuka dengan cari tahu lebih banyak supaya  dapat referensi tentang yang kita masih asing dengan hal itu termasuk toxic positivity. Kita ga bisa selalu tahu kapan kita toxic atau memang betul ini momen yang tepat untuk stay positif dan share energi itu ke yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun