Mohon tunggu...
Ilmi Nuraini
Ilmi Nuraini Mohon Tunggu... Arsitek - 🌜

Mari berimajinasi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku Azi

29 Januari 2020   18:32 Diperbarui: 29 Januari 2020   18:33 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Bang Azi, ayo kita foto. Semua telah menunggu"
"Baik Laila"
Foto itu menjadi tanda mata sebuah kisah lama. Aku memegang figura lama Ibu dan eratlah kedua tanganku ini. Istriku berdiri disebelah kananku dan sisi kiri terdapat adik perempuanku. Difoto itu juga terdapat Ayah yang masih gagah walau sudah beruban dan kedua orang tua Laila. Semua tersenyum selepas hitungan ketiga. Kulapisi kaca dan pinggiran kayu pada foto itu, kutaruh pada ruang keluarga agar selalu terlihat. Kujadikan foto itu sebagai salah satu penghibur hati dikala gundah. Semua itu telah terjadi lama sekali. Ketika aku adalah seorang Azi kecil yang seharusnya tak mengerti apa - apa.

***

Hari itu ditanah Sumatera. Aku seorang Azi kecil sedang membantu Ayah menyapu halaman di kedai kopi. Sementara Ayah sedang mengatur urutan jenis kopi. Setiap hari, sebelum berangkat sekolah, Aku selalu datang ke kedai Ayah untuk mengantarkan bekal makan yang Ibu buat. Kupikir, mengapa Ayah tidak menunggu hingga Ibu selesai memasak, tetapi yang selalu dikatakannya "kerjakanlah sesuatu lebih awal nak, itu akan lebih baik". Karena kalimat itulah, Aku menjadi Azi yang selalu dipuji rajin oleh guru di sekolah. Ibuku saat ini sedang hamil. Berarti tak lama aku akan memiliki adik. Kuharap adikku perempuan, seperti keinginan Ayah. Ibu jarang pergi memeriksa kandungan. Jarak rumah kami yang jauh dengan tempat bidan membuat Ibu khawatir. Tidak hanya Ibuku saja, semua para Ibu yang sedang berjuang dengan anaknya juga merasa khawatir. Maka saat lima bulan nanti, Ayah akan membawa Ibu ke rumah Bibi agar lebih dekat ke bidan seperti yang dilakukan kepadaku saat di dalam kandungan.
Kali ini, Aku tak diminta untuk mengantarkan bekal makan. Kedai pun ditutup. Aku tak diberi tahu baik Ayah atau pun Ibu. Malam itu, aku terbangun. Nyamuk mengusik tidurku. Aku keluar dari kamar dan berniat masuk ke kamar Ayah dan Ibu. Pintu kubuka perlahan, tetapi kulirik seluruh ruang tak ada siapa pun. Kulihat ruang tamu juga tak ada. Sempat ingin kembali ke kamar, tiba - tiba saja terdengar suara Ayah batuk. Sepertinya habis merokok. Ibu pun terdengar lebih lembut, biasanya selalu teriak dan cerewet. Tapi, aku tak mengerti apa yang dibicarakan. Maka pagi ini, Ayah memintaku untuk langsung pergi ke sekolah. Sementara kedua orangtuaku sedang bersiap pergi ke rumah Kakek. Kutanyakan untuk apa pergi kesana, Ibu hanya menjawab "Rindu zi, bawaan sedang hamil". Kuiyakan perkataan Ibu, walaupun pikiranku terus bertanya - tanya ada apa semalam.
Siang pun tiba, kutunggu satu jam di depan pagar kayu sekolah. Aku tak dijemput juga oleh Ayah. Biasanya satu menit sebelum pulang, Ayah sudah menungguku dengan motor tuanya. Mungkin saja, belum pulang dari rumah Kakek. Kuputuskan untuk berjalan saja, uang saku hanya cukup untuk jajan dan aku berencana untuk pergi ke warung Pak Koh. Sesampainya di rumah, kuucap salam dan tak ada jawaban. Benar dugaanku bahwa Ayah dan Ibu belum pulang. Aku tak membawa kunci cadangan. Alhasil, kududuk saja di kursi rotan hingga terlelap.
"Azi, maafkan Ibu ya. Ikutlah dengan Bapak, tak apa. Nanti Ibu akan sering berjumpa dengan Azi setelah Ibu melahirkan adikmu". Kuterbangun setelah seseorang menggoyangkan bahuku. Ibu yang berbicara kepadaku, ternyata hanya selintas bunga tidur.
"Ah, Kak Siti. Azi ketiduran" jawabku
" Azi, Ayahmu menelepon ke rumah Kakak. Untuk sekarang tinggalah dulu di rumah Kakak, Ayah dan Ibumu tak akan pulang sekarang".
Pergilah aku ke rumah Kak Siti. Tangan mungilku dipegangnya, agar lebih cepat berjalan. Ya pastinya langkahku sangat kecil saat itu. Sesampainya disana, suami Kak Siti menyapaku dan mengajak sholat Ashar bersama. Rumahnya teramat sepi karena hanya ada mereka berdua saja di rumah yang luas ini. Memang pantas, sebab pernikahan Kak Siti dengan suaminya baru - baru saja dilaksanakan.
Malamnya aku tak bisa mengerjakan tugas sekolah, semua buku tugas ada di rumah. Aku sedikit panik karena tak biasanya meninggalkan kewajiban sehari - hari ini. Tetapi Kak Siti memberikanku buku tulis agar bisa mengerjakannya. Diantarlah aku ke rumah teman untuk melihat soalnya oleh suami Kak Siti. Saat itu, aku sangat senang, perhatiannya sepasang suami istri itu kepadaku. Aku bahkan sampai lupa mengenai Ayah dan Ibu yang hari ini tidak pulang.

***

Aku menangis dan tak mau sekolah. Makanan pun seperti menolak kedalam lambungku. Subuh tadi Ayah datang dan kukira akan menjemputku pulang. Ternyata memberikan sebuah tas kepada Kak Siti untuk perlengkapanku. Ayah memintaku untuk tinggal disini beberapa hari. Kutanya ada apa, tapi Ibu yang hamil selalu menjadi alasan. Jelas Aku tak mau. Kuyakin, semenjak Ayah dan Ibu berbincang diluar malam itu, memang ada masalah. Tetapi, Aku yang saat itu masih kecil sulit untuk memahami. Sungguh, Aku merepotkan Kak Siti dan suaminya, tapi mereka tak marah dan selalu mencari cara bagaimana aku mau makan dan berangkat sekolah. Dan hatiku luluh saat suami Kak Siti memberikan satu nasehat bahwa aku harus menjadi laki - laki yang kuat, sebentar lagi Aku akan memiliki adik. Saat adik sudah hadir ke dunia, Azi yang akan melindunginya sebab Ayah akan sibuk di kedai kopi untuk biaya sekolah Azi. Benar sekali, Aku ingin sekolah lebih tinggi lagi. Kuucapkan itu pada Ayah dan matanya berbinar - binar. Berhenti menangis dan kusiap - siap pergi ke sekolah.
Tiga hari telah berlalu. Sekarang Aku dijemput oleh Ayah. Sangat berterima kasihlah Aku dengan Kak Siti. Tibalah Aku di rumah dan bertemu Ibu yang perutnya bertambah besar. Sepertinya Ibu tak lama lagi akan pergi ke rumah Bibi. Ibu terus memelukku erat, terkadang ada air matanya yang jatuh ke ubun - ubunku. Kutanyakan ada apa Bu? Ibu hanya bilang tidak apa - apa zi, rindu lama tak bertemu Azi. Saat itulah, aku ingin terus dekat dengan Ibu, tak mengerti mengapa tetapi hati yang menjalankannya.
Kami makan bersama di atas tikar dengan lauk seadanya. Azi kecil ini sangat senang bisa bersama kembali dengan orang tuanya. Namun, Aku tak sadar bahwa ini adalah hari terakhirku bersama Ibu. Sore hari, Ayah membawaku pergi dari rumah, dari Ibu dan tanah Sumatera ini. Ada cerita sebelumnya, gelas pecah dilempar oleh Ibu. Ibu meminta untuk bercerai dari Ayah, sebab memiliki kekasih baru dan ingin hidup bersamanya. Terkejutnya Aku. Ada apakah hingga Ibu bilang seperti itu, apa yang salah dari Ayah. Kuhanya bisa menangis, tak terima atas apa yang terjadi. Ayah menyetujui cerai setelah Ibu melahirkan. Sempat Ibu menolak. Ayah menyetujui untuk tak serumah, tetapi Ayah akan menemani Ibu selama masa kelahiran. Ibu pun mengiyakan.
Pergilah Aku merantau ke Bandung, kota yang belum pernah Aku tinggali. Rasanya asing berada disini. Ayah mengurus semua kepindahan dan sekolahku ke Bandung. Ayah menitipkanku di rumah teman lamanya untuk sementara waktu. Setelah itu Ayah kembali menemani Ibu sambil melanjutkan usaha kedai kopinya. Aku menangis, tak ingin ditinggalkan.
" Azi tidak mau ditinggal " kataku sambil menangis
Ayah memelukku, " Jadilah anak baik Azi, Ayah tak akan lama disana. Setelah semua selesai, Ayah akan membuka kedai kopi disini. Jangan menangis ya, turuti kata Paman Hali "
Selama 3 jam, Aku digendong Ayah. Diberi tepukan halus di punggung sama seperti Ibu. Hatiku pun luluh. Ayah pergi lagi.

***

Hampir setahun Aku bersama Paman Hali. Dibuatkan sarapan, diantar ke sekolah, dijemput dan jalan - jalan jika hari libur. Mengenal kota Bandung dengan keindahannya. Paman Hali selalu bilang pada orang yang ia kenal di jalan bahwa Aku ini anaknya. Teramat senang hingga Aku benar - benar diperlakukan seperti anaknya sendiri. Azi kecil ini sangat bersyukur dengan segala kekurangan dan masalah yang dihadapi, masih ada orang yang peduli. Seminggu sekali, Ayah mengirim surat padaku. Menanyakan kabar, sekolah baruku, keadaan Ibu, kedai kopi dan seputaran hal itu. Aku tak mengerti mengapa Ibu ingin bercerai, sementara surat yang Ayah tulis sangat tulus ketika bercerita tentang keadaan Ibu. Tapi tak kutanyakan masalah itu, hatiku kesal bagaimana Ibu berucap kepada Ayah. Ada sedikit benci dalam ingatan itu.
Dua bulan setelah Ibu melahirkan, Ayah menemuiku di Bandung. Meninggalkan kedai kopinya dan membuat kedai kopi baru disini. Datangnya Ayah menandakan bahwa dengan Ibu telah resmi bercerai. Aku tak mau mengungkit hal itu lagi. Ayah dan Aku tinggal di kontrakan, tak enak jika terus menumpang di rumah Paman Hali. Di kontrakan kecil itu, Aku dan Ayah memulai kehidupan baru, hanya ada Aku, Ayah dan kedai kopi sederhana.

***

Aku tumbuh menjadi remaja yang biasa saja. Keinginan kedepan dan cita - cita yang masih sama. Sebelumnya ku tak biasa mencuci baju, memasak makanan dan menyiapkan Ayah bekal. Tapi diumurku ini, Ayah meminta untuk belajar hal seperti itu. Bahkan ketika umurku 15 tahun, Ayah memintaku untuk memperbaiki genting rumah Pak Hali, tinggi sekali. Jujur saja saat itu Aku agak takut. Tetapi, Azi saat itu bukanlah Azi yang suka dipegang tangannya ketika berjalan, bukan juga dijemput ketika pulang sekolah apalagi digendong. Tinggiku sekarang melebihi Ayah, ya walaupun sedikit. Ayah juga semakin tua, putih rambutnya mulai muncul. Aku sedang giat - giatnya membantu Ayah di kedai kopi. Beberapa hari kedepan sudah memasuki liburan sekolah dan pasti banyak pelanggan yang berdatangan untuk sekedar berbincang dan curhat. Walaupun tempatnya sederhana, kedai Ayah tak pernah sepi pembeli. Aku sangat bersyukur, keinginan Ayah untuk menguliahkanku bisa terwujud. Ayah menginginkanku menjadi seorang Arsitek seperti cita - citanya yang tak jadi karena terbelit biaya. Cita - cita Ayah akan menjadi tujuanku kedepannya. Aku ingin membahagiakan Ayah, melihatnya yang begitu tegar setelah berpisah dengan Ibu demi anaknya agar tidak ikut menangis. Membuatku tersadar, Aku tidak boleh terlarut sedih.
Paman Hali sempat menawarkan biaya kuliah, tetapi Ayah menolak. Ayah tidak mau merepotkan terlalu banyak pada teman lamanya itu. Tetapi Paman Hali tetap memaksa. Kukatakan pada Paman Hali.
" Paman, tidak perlu hingga membiayakan sekolah Azi. Meski tak mau, Azi tetap menerima apa yang Paman beli, menerima apa yang Paman hadiahkan. Jika Azi butuh sesuatu dan benar mendesak, Azi akan bilang pada Paman "
" Kamu anak yang baik Azi, banggakanlah Ayahmu ini yang sudah bersusah payah untuk megurusmu" kata Paman Hali
" Baik Paman, Azi tidak hanya akan membanggakan Ayah tapi juga Paman "
Paman Hali tidak memiliki anak. Istrinya meninggal karena kecelakaan bus saat hamil 4 bulan. Sungguh miris memang. Maka itu, Aku sangat disayangi olehnya.
Selain membantu Ayah, di paginya Aku bekerja mengantarkan sayur ke pasar - pasar dengan meminjam mobil Paman Hali. Seperti biasa, Paman tidak pernah meminta bayaran mobil atau uang bensin. Jujur saja, Aku sangat merepotkan tetapi Paman terlihat sangat senang. Sempat Ayah mengusulkan agar Aku pindah kerjaan, tetapi untuk anak 17 tahun yang belum lulus ini sedikit peluang pekerjaan yang setidaknya cukup bagus. Pekerjaan itu hanya kulakukan ketika libur sekolah. Ketika masuk sekolah, kutawarkan kue dan kopi Ayah kepada guru dan teman - teman barangkali ada yang berminat tetapi malas untuk pergi ke kedai Ayah. Ayah bilang, asal tidak mengganggumu belajar, tidak masalah. Tapi, kalau nilaiku turun, lelaki hebat itu akan membuatku seperti ayam yang sedang mengeram.

***

Libur sekolah ternyata cepat usai. Kali ini, sebagai siswa yang mau lulus, tugas dan belajar semakin bertambah. Aku harus lulus dengan nilai yang baik. Bahkan, karena semangatnya Aku belajar, Ayah bekerja sendiri di kedainya setiap malam. Bukannya marah, Ayah sangat senang. Mungkin berpikir bahwa anak laki - lakinya ini berhasil lulus ujian dan masuk kuliah. Harapan yang begitu besar padaku, aku tak boleh menyia - nyiakan waktu sedikit pun. Sebab ini pun, Aku sudah  jarang mampir ke rumah Paman Hali.
Semakin mendekati ujian, Aku diantar jemput oleh Ayah dengan motor tua yang dibelinya dari orang lain bermaksud agar Aku tak terlalu lelah. Berbeda dengan teman sekolahku. Mereka memiliki motor yang pasti lebih keren, diantar dengan mobil dan memiliki hp yang canggih. Beberapa bahkan banyak temanku seperti itu. Tetapi, mereka tidak semuanya sombong. Banyak diantara mereka yang biasa bergaya sederhana walaupun rumahnya berkali - kali lipat dari luas kontrakanku. Ada seorang teman yang selalu menemaniku belajar. Ijal namanya. Dia bisa dikatakan tak pandai dalam belajar di kelas, tapi kalau sudah urusan voli dia ahlinya. Karena tak pandai, dia lebih memilih untuk menemaniku belajar. Katanya siapa tahu ketularan pintarnya. Aku pun begitu, suka mengikuti dia latihan voli dan itu menyenangkan. Kukira itu akan mudah, ternyata tak sesederhana itu. Mungkin, diantara banyak temanku di sekolah hanya Ijal yang benar mengerti keadaanku.
Hari ini, Aku diajak Ijal pergi ke toko olahraga. Dia ingin membeli sepatu karena sebentar lagi ada pertandingan. Setelah tiba, toko olahraga itu cukup luas berbeda dengan di tempatku dulu. Harganya pun cukup menarik. Hampir sejam aku menunggu akhir kebimbangan Ijal memilih sepatu. Kumanfaatkan untuk membaca buku. Sofa yang disediakan sangat nyaman hingga orang yang mungkin mau duduk di sofa ini juga tak jadi karena Aku tak mau pindah.
Sepulangnya, Aku diajak Ijal membeli es cendol. Es cendol memang enak, pertama kali mencoba karena diajak Ijal. Semenjak itu, Aku suka membawa pulang untuk Ayah. Sambil asik meminum cendol, Ijal memintaku untuk mendengarkan curhatannya. Kukira, hanya wanita yang suka dengan curhat.
" Ji, ini teh pertama kalinya.. "
" Pertama apanya ? Yang jelas bicaranya " kataku
" Aku teh suka sama temen di kelas kamu " katanya
" Temanku kan banyak jal " Aku terkekeh. Temanku ini sedang jatuh cinta.
" Itu yang duduk dibelakangmu ji, yang pakai kerudung, lucu teh orangnya " katanya sampai senyum - senyum sendiri.
" Maksudmu, minta kenalkan ? " Tebakku
" Hehehe, iya ji "
" Tapi pertemuanmu dengannya harus ada Aku " kataku
" Oke ji " senangnya terlihat begitu jelas sambil meminum es cendolnya.
Kuiyakan permintaannya. Tapi tak kujanjikan akan berhasil. Perempuan yang disukai Ijal itu agak pendiam. Aku jarang mengobrol dengannya. Itu akan menjadi hal sulit untuk mengajaknya bertemu dengan Ijal. Akan Aku usahakan, haduh temanku ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun