Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bisakah Mengkritik Tanpa Harus Nyinyir atau Mengumpat?

6 Juli 2017   02:52 Diperbarui: 6 Juli 2017   10:44 2751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaesang, putra Presiden Ir. Jokowi dalam salah satu vlognya (YouTube - Kaesang)

Sepertinya kita mewarisi kondisi sosial yang tidak stabil, suntuk, sensi, dengan setumpuk amarah berselubung kebencian terpendam. Warisan yang merupakan efek dari rentetan peristiwa-peristiwa politik yang terjadi akhir-akhir ini. Ibaratkan–dengan situasi labilnya masyarakat kita sekarang ini--sedikit saja percikan ataupun apapun yang bisa dipersepsi oleh kelompok tertentu sebagai percikan, maka ia akan meledak.

Lagi-lagi kita berada dalam situasi masyarakat yang labil akibat konstruksi politik SARA akhir-akhir ini, tindak-tanduk ucapan mestik dihati-hatikan, demi upaya untuk tidak menambah situasi kebencian yang sedianya belum sembuh. Keterlibatan kita untuk mengcounter kebencian dengan balasan kebencian tidak akan menyelesaikan apa-apa justru hanya semakin memperkeruh. Kebencian horizontal yang ada tidak akan membawa kebaikan apa-apa di masyarakat. Mengumbar hal demikian hanya akan membuat situasi bertambah kacau.

Bukan untuk menafikan bahwa kritik itu penting. Namun barangkali kita mesti memikirkan bungkusan kritik itu dengan cara-cara yang lebih elegan tanpa kehilangan esensinya. Segala tendensi kata yang merendahkan siapapun yang kita kritik sama-sama harus tidak dibawa di ruang publik begitu saja. Sebab kalau terjadi, maka bisa-bisa kantor polisi akan penuh dengan laporan ujaran kebencian (hate speech).

Dengan situasi masyarakat kita yang sensi sekarang ini, ditambah dengan kebiasaan mengkritik yang dibungkus dengan nyinyiran dan umpatan akhir-akhir ini. Entah, sejak kapan model kritik ala nyinyiran yang menjadi ciri kelas menengah kita menjadi populer--saya menduga sejak pemilu presiden terakhir hingga pemilukada DKI. Suatu model kritik yang alih-alih mengarah pada upaya untuk menyadarkan yang dikritik, justru sebaliknya hanya semakin memperurat akar permusuhan kebencian.

Tidak sedikit kritik-kritik yang pada dasarnya cerdas itu, karena dibungkus dengan sikap nyinyiran  justru hanya berakhir seperti pupuk baru bagi kebencian lama yang sedianya belum sembuh. Alih-alih ingin menyembuhkan justru sebaliknya memantik kembali luka baru di atas luka lama yang sudah membusuk. Pertanyaannya, bisakah sebenarnya kita mengkritik tanpa harus nyinyir atau dibalut dengan umpatan?

Alih-alih ingin terkesan melucu-lucukan suatu kritik, sebaliknya justru terasa memilukan bagi yang kelompok yang ingin dikritik? Padahal saya yakin dalam prasangka positif saya, bahwa kritik kita pada siapapun adalah bentuk keinginan kita untuk meluruskan suatu hal, bukan sebaliknya, kritik untuk menambah amunisi permusuhan? Karena kritik dibungkus dengan nyinyiran dan umpatan ini ujung-ujungnya kritik kehilangan esensinya, yang sampai hanya sensasi olokannya. Akhirnya kritik tidak pernah bermuara pada tujuan yang sebenarnya; memantik rasionalitas, justru sebaliknya hanya mengumbar perasaan emosi bagi yang dikritik.

Saya sepakat bahwa ada banyak kedangkalan pikir yang mengerumuni kepala masyarakat kita akhir-akhir ini. Suatu puncak kedangkalan pikir yang tak terjadi begitu saja melainkan terpaut dengan rentetan peristiwa politik yang ikut mengumbar dan menggoreng isu-isu sektarian belakangan ini. Tapi sampai kapan kedangkalan pikir yang berpotensi menyulut kebencian horizontal itu bisa diluruskan dengan cara mengolok-olok? Kritik yang esensinya bermutu lantas menjadi tidak bermutu lantaran dibungkus dengan nyinyiran dan umpatan?

Sumbu pendek, bani sarbet, pasukan nasi bungkus, pasukan nasi kotak, bumi datar, bumi kotak, dasar onta, dasar ku**i, ba*i, hingga dasar ndeso? Apakah bungkusan-bungkusan kritik ini bisa mendamaikan masyarakat yang sudah terlanjur sensi dengan banyak keadaan? Dalam konteks ini, saya menunjuk pada dua kubu politik yang mewakili kelas menengah religius dan kelas menengah nasionalis, yang tak lain adalah buzzer-buzzer politik dunia maya, yang sampai hari ini pasca peristiwa politik juga belum memperlihatkan tanda-tanda kesembuhan.

Bahkan ironisnya, tidak sedikit mereka-mereka yang tua-tua (setidaknya mewakili generasi tua), bertitel professor, dosen, bahkan pengamat, ikut mempopulerkan nyinyiran dan umpatan, hanya untuk mndapat popularitas selebritas dunia maya, yang secara tak langsung alih-alih seharusnya mereka diharap ikut mengademkan suasana yang sudah terlanjur panas, justru sebaliknya, menjadi agen kompor permusuhan nomor wahid. Pertanyaannya, ketika ada api, haruskah ia dipadamkan dengan api pula? Tentu saja tidak bisa, ia hanya dipadamkan dengan air yang mendinginkan.

Melawan apa yang Anda sebut kebodohan itu dengan cara memperolok-olok dengan nyinyiran apalagi umpatan, tidak bisa sama sekali disebut sebagai bentuk perlawanan Anda terhadap kebodohan. Tidak sedikit mereka-mereka yang mengaku tercerahkan di dunia maya justru terjebak pada hal ini. Pencerahan yang ada dalam dirinya hanya menimbulkan kegelapan pada kelompok yang ingin dicerahkan lantaran kritik justru kehilangan unsur adab, penuh nyinyiran, penuh emosi, dan sarkasme merendahkan.

Kasus terakhir, seorang yang diduga putra presiden, Kaesang, dilaporkan di Polresta Bekasi (2/7), lantaran dinilai melakukan ujaran kebencian, hanya karena ia menyelipkan kata "dasar ndeso!" pada suatu kalimatnya untuk mengkritik kelompok tertentu. Dan kontrasnya, pelapor justru berasal dari orang yang telebih dahulu ditersangkakan dengan poin ujaran kebencian yang sama untuk kasus tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun