Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agama, Komunisme, dan Fenomena Sweeping Buku Kiri

5 Agustus 2019   22:45 Diperbarui: 5 Agustus 2019   23:24 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Iqra, bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, itu adalah ayat pertama yang turun dalam agama Islam. Ayat itu tidak berbunyi: razialah (buku) dengan membawa-bawa nama Tuhan dan agamamu.

Saat ini, kita tidak hanya berhadapan dengan problem rendahnya budaya literasi bangsa ini. Tapi juga munculnya perilaku banal yang anti-literasi, yang tidak hanya dipertontongkan oleh aparat tapi juga orang-orang sipil yang membawa nama ormas tertentu.

Kasus sweeping buku kiri yang terjadi belakangan ini, mencerminkan sebuah simptom dari gejala masyarakat kita yang sebetulnya sakit. Di tengah pemerintah yang cenderung abai. Praktik persekusi ide dan pikiran demikian adalah suatu bentuk praktik primitif dari suatu bangsa yang menderita kekurangan gizi pengetahuan sebetulnya.

Di masyarakat yang kekurangan gizi pengetahuan demikian, praktik anti-pengetahuan selalu terjadi. Seperti yang terjadi di Makassar baru-baru ini, ketika suatu toko buku disweeping oleh segerombolan orang yang mengatasnamakan ormas tertentu. Melihat anak muda demikian, saya sendiri justru malu, untuk usia diriku apalagi yang juga besar di Makassar. Bagi saya merazia buku adalah bentuk pameran kebodohan di ruang publik tanpa rasa malu.

Iya! tanpa rasa malu. Ini mungkin terlalu kasar untuk ukurang telinga banyak orang. Tapi nyatanya memang demikian. Para perazia buku seperti ini, justru merasakan gejala psikologis yang berbeda; penuh kebanggaan, seolah apa yang ia lakukan itu suatu perilaku suci. Seolah-olah dengan menghabisi apa saja yang terkait dengan isu "komunisme" adalah jihad itu sendiri bagi mereka.

Kata orang, manusia yang kekurangan pengetahuan, bawaannya ingin marah saja terus. Dan memang demikian adanya. Saya tak percaya, mereka yang doyang merazia buku-buku kiri belakangan ini, benar-benar mengerti isi buku yang mereka razia itu. Sekali lagi, dasarnya cuma satu phobia, indoktrinasi, lalu berujung pada kebencian. Dan sialnya, bahwa kebencian itu pun justru bermuara pada benda yang bernama buku.

Kalau saja segala sesuatunya dilandasi dengan pengetahuan yang cukup. Saya kira, apa yang disebut Frans Magnis Suzeno, bisa terwadahi, yakni bagaimana melawan ajaran "komunisme" itu di tingkatan ide dan diskursus. Karena hanya disitu ruangnya. Sebuah ideologi bisa dipatahkan, dihancurkan, kalau manusia punya daya pembanding diskursus yang mampu membusukkan suatu ideologi lain dengan sendirinya. Kehilangan daya diskursus pembanding kritislah, yang membuat sebagian orang mengambil jalan pintas untuk memutuskan merazia, yang tiada lain adalah bentuk persekusi terhadap pikiran.

Komunisme adalah sebuah jalan pikiran. Yang berpangkal pada gagasan-gagasan Marxisme. Dan seperti kata Gusdur, negara dan siapapun tidak bisa menghukum yang namanya pikiran. Karena pikiran itu sendiri bukan objek hukum. Dan buku adalah pengejewantahan tertulis dari pikiran itu sendiri. Sekarang, mari kita tantang, dan mendukung agar para yang anti buku-buku "komunisme" itu sendiri menulis buku juga, setidaknya itu cara terhormat untuk mengkritik dan menelanjangi gagasan-gagasan komunisme itu sendiri, bukan?

Namun saya ragu bahwa mereka punya kemampuan untuk itu. Karena sekali lagi, komunisme sebagaimana Marxisme adalah madzhab pengetahuan dan juga gerakan, yang setidaknya sampai saat ini masih relevan, bahkan mengganggu pikiran banyak orang termasuk intelektual. Marxisme selalu tumbuh dalam lorong-lorong kegelapan penindasan. Itu prinsipnya.

Ia memang seperti hantu, yang mengganggu kemapanan orang-orang yang berpunya. Kesenjangan, ketidakadilan, dan penindasan adalah pupuk yang menyuburkan gagasan ini. Sekali lagi, ia lahir dari rahim ketertindasan.

Karena itu, nyaris sulit untuk dihapus keberadaannya. Tak ada intelektual  kritis setidaknya yang punya nama di dunia ini, yang besar karena pikiran-pikirannya tanpa pernah bersentuhan dengan gagasan ini: Marxisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun