Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anak Muda, Tan Malaka, dan Idealisme

23 Februari 2019   02:28 Diperbarui: 23 Februari 2019   02:53 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tan Malaka. Ia sering disebut Che Guevara dari Asia. Namanya melegenda. Semangat revolusinya menembus batas. Begitupun dengan ide-idenya. Bersama dengan keteguhan hati dan cita-cita pembebasannya.

Untuk ukuran saat itu bahkan mungkin saat ini, Tan adalah manusia yang melampaui zamannya. Dan ironisnya ia justru hidup di masyarakat yang tak siap dengan ide-ide perubahan radikal. Di ujung peluru di sebuah desa di Jawa Timur 1949, ia dibunuh. Dibunuh bukan oleh para kolonial, tapi di tangan bangsa yang ia perjuangkan selama hampir seluruh hidupnya. 

Cukup lama setelah kematiannya. Namanya terus ikut dikubur oleh rezim politik yang berkuasa. Namanya sekalipun begitu menakutkan untuk diperdengarkan di telinga orang-orang berkuasa. Hingga akhirnya satu per satu kebenaran terkuak. Tan seperti perlahan-lahan hadir kembali di tengah-tengah kondisi hidup yang jauh dari kemerdekaan sejati, seperti sekarang ini.  Seolah mengafirmasi ucapan Tan sendiri, bahwa dari dalam kubur suaraku lebih lantang dibanding di atas bumi.

Membaca narasi hidup Tan. Untuk ukuran politisi Indonesia bahkan di saat masih bernama Hindia Belanda. Seperti tak ada bandingannya. Keteguhan hati yang kuat,  pengorbanan hidup yang sangat besar, hingga perjalanan hidup yang penuh heroisme.

Dalam keteguhan hati akan prinsip. Tan nyaris tak mampu diikuti oleh siapapun, kata banyak peneliti. Hatinya terlalu teguh untuk diajak berkompromi dan punggungnya terlalu lurus untuk diajak sedikit membungkuk. Gagasan kemerdekaan 100% dan politik anti-kompromi adalah perwujudan dari keteguhan hati itu. 

Dalam hal pengorbanan hidup. Tak perlu diragukan. Hidup terlunta-lunta sebagai buron politik hingga tak ada lagi yang tersisa yang bisa ia berikan lebih  dari itu hingga akhirnya nyawa pun jadi pengorbanan terakhir yang ia relakan. Semua demi cita-cita kebebasan dan pembebasan bangsa ini. Singkatnya ia tak sempat menikati hidup layaknya manusia kebanyakan. Hidupnya hanya untuk belajar, belajar, belajar, dan berjuang. Menyiapkan dan merumuskan benih dari bayi revolusi yang akan lahir.

Sebagai aktivis politik, berbekal intelektualitas, keteguhan hati, dan cita-cita pembebasan. Tan, harus berhadapan dengan penjara. Perjalanannya sepanjang 89.000 km atau setara dengan 2 kali keliling bumi  itu yang terpampang di 11 negara membuat dirinya harus masuk keluar penjara hingga 13 kali. 

Tan layaknya pejalan larut yang menyerap  banyak situasi dunia. Kritiknya memang sangat tajam. Dalam menghantam sendi-sendi kolonialisme, kapitalisme, feodalisme, hingga cara berpikir borjuis yang melanda para pelaku gerakan. Bukan hanya dengan kritik, ia mengorganisasi dan menghimpun pelaku gerakan di akar rumput. Sebab di atas itu semua, Tan percaya  bahwa hanya cita-cita sosialismelah yang mampu membebaskan seluruh umat manusia. Lewat kekuatan massa proletar, revolusi akan mengkhiri segala bentuk penderitaan bangsa-bangsa yang tertindas. 

Tan tidak hanya mengkritik pemimpin dunia di forum internasional. Ia juga aktif mengkritik kebijakan-kebijakan politik Seokarno. Yang membuatnya harus mengambil jalan politik di luar lingkar kekuasaan sebagai oposisi. 

Diceritakan dalam suatu pertemuan tahun 1946 beberapa bulan setelah proklamasi. Ketika Soekarno, Syahrir, Hatta, H. Agus Salim bertemu di suatu malam. Tiba-tiba datanglah Tan Malaka sebagai tamu tak diundang, sembari berkata dengan lantang: 

"Kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik dengan kemerdekaan yang kalian ciptakan. Aku merasa kemerdekaan kalian tidak dirancang untuk kemaslahatan bersama. Harus aku katakan bahwa kita belum merdeka, sebab merdeka haruslah 100%. Hari ini aku melihat bahwa kemerdekaan hanyalah milik kaum elit, yang mendadak bahagia menjadi borjuis, dan bersuka cita menjadi ambtenaar. Kemerdekaan hanyalah milik kalian bukan milik rakyat. Hari ini aku datang sebagai saudara dan sahabat. esok adalah hari di mana aku akan menjelma menjadi musuh kalian. Karena aku akan tetap berjuang untuk kemerdekaan 100%....".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun