Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

UP Jadi Penentu Kelulusan PPGJ, Adilkah Bagi Guru?

28 September 2018   18:33 Diperbarui: 29 September 2018   11:19 3856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI - ANTARA FOTO/Seno

Kita barangkali sering mendengar adagium ini: pendidikan adalah proses. Ibaratkan tubuh, proses adalah ruhnya. Itulah kenapa UN (Ujian Nasional) misalnya, tidak lagi dijadikan penentu kelulusan bagi siswa sejak dua tahun terakhir ini. 

Alasannya sederhana, bahwa sistem ujian sebagai penentu kelulusan, adalah sarat ketidakadilan, sebab mengabaikan proses itu sendiri (yang menjadi ruh dari makna pendidikan itu sendiri).

Namun, lain halnya dengan UN. Pada proses sertifikasi guru dalam jabatan yang  telah berlangsung tahun ini, konsep pendidikan sebagai proses sepertinya tidak berlaku. Uji Pengetahuan atau UP adalah penentu kelulusan, untuk bisa seorang guru mendapatkan pengakuan sebagai guru tersertifikasi dari pemerintah. Tentu saja hal ini juga menimbulkan semacam tekanan psikologis bagi guru PPGJ layaknya siswa dulu ketika UN dijadikan penentu kelulusan.

Itu artinya, guru yang ikut PPGJ (Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan), meskipun telah menuntaskan proses belajar dengan baik selama 6 bulan, itu tak ada artinya secara administratif kalau guru bersangkutan tidak dinyatakan lulus UP. Sebab pengakuan apakah guru dianggap bisa tersertifikasi atau tidak, ditentukan secara mutlak oleh UP ini.

Ada kesan ketidakadilan yang dirasakan guru dalam konteks ini. Mengingat bahwa penentuan kelulusan tersebut terlalu mensimplifikasi proses yang ada. Mengabaikan proses yang panjang bahkan mengabaikan Uji Kinerja (UK) yang telah dilakukan oleh guru itu sendiri.

Kita bisa menghitung-hitung proses ini. Dari proses penuntasan kuliah daring yang dilewati guru dengan setumpuk tugas yang tak sedikit sampai 3 bulan, hingga penuntasan lokakarya (pembelajaran kelas) hingga 2 bulan, ditambah dengan praktik lapangan (simulasi mengajar ke sekolah-sekolah mitra kampus pelakasan PPGJ) hingga 1 bulan. Semua seperti tak ada artinya, kalau guru bersangkutan dinyatakan tidak lulus Uji Pengetahuan nantinya.

Proses simplifikasi makna pendidikan disini menjadi paradoks. Persoalan ini tiada lain karena tidak sinkronnya kewenangan yang ada antara pemerintah pusat yang mewakili panitia pusat dengan kampus sebagai pihak pelaksana PPGJ. Kampus adalah pelaksana pembelajaran, lalu kemudian yang melakukan penilaian adalah pemerintah lewat panitia nasional yang dibentuk.

Mirip dengan UN yang dulu-dulu. Guru yang mengajar, tapi pemerintah yang menentukan lulus tidaknya siswa yang diajar oleh guru. Mestinya kekakuan model penilaian PPGJ ini, bisa diretas dengan berkaca pada kasus UN-siswa sekarang ini. 

Kuncinya adalah desentralisasi kewenangan, dari pemerintah kepada pihak kampus penyelenggara PPGJ. Dengan memberi kepercayaan utuh kepada pihak kampus, tidak setengah-setengah. Melaksanakan pembelajaran sekaligus menuntaskan hingga penilaian. Namun hingga kini, konsep yang ada, tidak demikian.

Ketidaklulusan guru ini tidak hanya menjadi bumerang yang dapat menggerogoti kewibawaan dan kepercayaan diri guru (bahkan pihak kampus penyelenggara), tapi juga ikut membuat segala proses yang berjalan menjadi "sia-sia". 

Bahkan muncul satire, buat apa pihak kampus penyelenggara PPGJ mesti repot-repot melaksanakan pembelajaran kelas dan daring, kenapa tidak sulap saja  kampus menjadi lembaga bimbingan test PPGJ? Toh, kemudian, yang paling dinantikan oleh guru PPGJ hanyalah testnya, dan lulus, lalu mendapatkan sertifikat, untuk nantinya menjadi prasyarat mendapatkan tunjangan sertifikasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun