Di sebuah sudut permukiman padat di Dusun Sunten, Kelurahan Banguntapan, Kabupaten Bantul, tampak sekilas tumpukan kardus, plastik, dan kantong sampah besar dalam berbagai warna. Tapi jangan salah sangka, ini bukan sembarang sampah yang dibiarkan menumpuk tanpa arah. Di sinilah kisah inspiratif tentang pengelolaan sampah berkelanjutan dimulai, dari tangan warga biasa yang punya tekad luar biasa.
Bank Sampah Sunten bukan hanya tempat mengumpulkan sampah, tetapi juga pusat edukasi, ekonomi sirkular, dan harapan baru bagi lingkungan. Setiap pekan, puluhan warga membawa sampah terpilah dari rumah masing-masing, mulai dari kardus bekas, botol plastik, hingga limbah rumah tangga non-organik lainnya. Mereka datang bukan untuk membuang, tetapi untuk menabung.
"Setiap bungkus plastik dan kardus punya nilai, asal kita tahu cara mengelolanya," ujar Ibu Suji, salah satu penggerak bank sampah sejak awal dibentuk tahun 2021. Setiap hari Minggu beliau dan beberapa ibu-ibu, menimbang dan mencatat berat sampah dengan teliti. "Kami ingin mengubah cara pandang terhadap sampah bahwa sampah bukan beban, tapi sumber daya."
Sistem bank sampah ini sederhana namun efektif. Warga menyetorkan sampah terpilah yang sudah dibersihkan. Setiap jenis sampah memiliki harga per-kilogram yang ditentukan oleh pasar daur ulang. Hasilnya dicatat sebagai saldo tabungan warga. Dalam jangka waktu tertentu, warga bisa mencairkan saldo tersebut dalam bentuk uang tunai. Namun nilai terbesar dari bank sampah bukan pada uangnya, melainkan pada kesadaran yang tumbuh di antara warga.
Dampak dari kegiatan ini sangat terasa. Lingkungan permukiman yang dulunya sering banjir karena saluran mampet, kini jauh lebih bersih. Volume sampah yang dibuang ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) menurun drastis. Warga pun mulai terbiasa memilah sampah sejak dari dapur.
Kegiatan Bank Sampah Sunten tidak berhenti di pengumpulan dan penimbangan saja. Beberapa warga bahkan mulai mengolah limbah rumah tangga menjadi produk kreatif seperti ecobrick dari plastik lunak, pot bunga dari botol atau galon bekas, hingga kerajinan dari kardus. Ada juga pelatihan membuat kompos dari limbah dapur untuk keperluan berkebun.
Pendidikan lingkungan paling efektif adalah melalui praktik secara langsung. Namun jalan yang ditempuh tidak selalu mulus. Tantangan terbesar justru datang dari kebiasaan lama sebagian warga yang sulit berubah. "Masih ada yang malas memilah, merasa repot. Ada juga yang tidak percaya sampah bisa jadi uang," ujar ibu Suji. Meski begitu, para penggerak tidak menyerah. Mereka rutin mengadakan penyuluhan dari rumah ke rumah, memasang poster edukatif, dan bahkan mengadakan lomba kebersihan antar-RT.
Pemerintah Kalurahan Banguntapan memberikan dukungan berupa pelatihan dan bantuan alat seperti timbangan digital dan rak pemilahan. Namun, penggerak bank sampah berharap lebih dari sekadar dukungan material. Mereka ingin kebijakan pengelolaan sampah dijadikan bagian dari peraturan kampung agar memiliki kekuatan hukum dan keberlanjutan. Jadi, kunci keberhasilannya adalah partisipasi warga dan tergantung pada inisiatif dan konsistensi masyarakat tentunya.
Kisah Bank Sampah Sunten mengingatkan pada pesan Mahatma Gandhi: "Be the change you wish to see in the world." Perubahan tidak selalu harus dimulai dari pemerintah pusat, investor besar, atau teknologi canggih. Di Sunten, perubahan lahir dari tangan-tangan warga biasa yang memilih untuk peduli.
Sunten merupakan salah satu dusun yang padat penduduk, tetapi harapannya Sunten bisa memberikan contoh kepada dusun lain sebagai kampung yang bersih, kreatif, dan penuh semangat gotong royong warganya. Sehingga anak-anak tumbuh dengan nilai cinta lingkungan, ibu-ibu punya penghasilan tambahan, dan para bapak turut serta dalam kegiatan kebersihan kampung. Sampah yang dulu dianggap musuh, kini menjadi mitra membangun masa depan.
Dengan sistem yang terus disempurnakan dan dukungan lintas pihak, Bank Sampah Sunten bertekad menjadi pionir dalam gerakan lingkungan berbasis komunitas. Sebab, seperti kata pepatah Jawa, "Jer basuki mawa bea"---segala keberhasilan memang butuh usaha. Dan di Sunten, usaha itu dimulai dari satu langkah kecil: memilah sampah dengan hati dan harapan.