Mohon tunggu...
Teresia
Teresia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Teresia Sinaga

Menyukai pandangan hidup pribadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuan Takdir

26 April 2022   18:00 Diperbarui: 26 April 2022   18:32 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku membenci takdir. Ia memberikanku pilihan sulit dalam hidup yang tiada habisnya.

            Aku seperti cakra dan dia seperti bangsi.

            Mungkin sulit diartikan, tapi itulah pikiran-penuh kerumitan padahal sebenarnya begitu sederhana. Andaikan waktu bisa diperbaharui sesuka hati, mungkin aku akan hidup tanpa perlu bolak-balik melihat kebelakang, melihat kepingan masa laluku, yang terdampar di lautan bebas tanpa tujuan dan makna-Bergelayut menikmati tiap serangan gelombang tanpa berniat melawannya. Dua puluh tahun silam. Aku beradu mesra terhadap keindahan asmara tanpa niatan serius. Kupikir, diumur yang belia, niatan komitmen belum bersarang didalamnya. Sudah kubilang, pilihan hidup berhasil dipermainkan oleh kehadiran takdir. Usia belia yang penuh kelabilan ternyata mengada-ada. Aku yang harusnya tumbuh tanpa pikiran dewasa diusia itu, harus menerimanya ketika semua masalah muncul ke duniaku.

            Kebangkrutan usaha Bobi, Ayahku, menjadi awal duniaku rubuh. Ibu yang tidak kuat untuk hidup susah bersama Bobi, memutuskan melarikan diri dari rumah. Aku tidak khawatir tentang itu, yang kukhawatirkan hanya tentang Bobiku yang semakin kurus. Bobi selalu melewatkan jam makannya atau istirahatnya, dia selalu berkutat didepan kertas yang penuh dengan cetakan tinta, yang tidak kutahu itu apa. Selain itu, Bobi juga selalu membeli berbagai pil obat yang ia sembunyikan dibalik laci meja kerjanya. Aku mengetahui obat itu penting, tapi melihat Bobi mengonsumsinya setiap hari, membuat hatiku teriris.

            Bagian buruk dari takdir itu membuatku semakin gila. Aku harus menerima fakta, bahwa sekolah memecatku karena tunggakan SPP lima bulan terakhir disemester ini. Aku menerima surat pemecatan itu, dan langsung menaruhnya disisi kanan tasku tanpa berbasa-basi meminta belas kasihan Kepala sekolah. Karena, aku tahu itu sia-sia. Setelahnya, aku berlari meninggalkan sekolah. Menyusun rancangan agar aku bisa kembali mengenyam pendidikan. Aku berpikir harus menemui Bobi.  Meminta-Nya berbicara kepada Kepala Sekolah agar aku diterima kembali di sekolah itu. Aku mengencangkan langkahku, menahan rasa perih yang melilit lambung yang tidak ku isi sejak kemarin malam.

            Aku memangkas waktu perjalanan menuju rumah yang harusnya lima belas menit menjadi sembilan menit, melupakan rasa lapar dan letih dibawah teriknya hari demi menemui Bobiku. Namun, suara teriakan dari gang rumahku berhasil membuatku terpaku. Aku semakin mengencangkan langkah, memaksa sisa tenaga yang kupunya untuk bertaruh. Kulihat, rumahku terlihat ramai. Sangat ramai, bahkan. Namun, satu hal yang membuat nyawaku terasa putus, ketika bus putih bersirene tajam berhenti tepat didepan rumahku. Beberapa petugas berpakaian cokelat juga turun dari sana menghalangi orang-orang yang mencoba masuk ke dalam rumah.

            Aku berteriak histeris, saat melihat Bobiku yang berlumuran darah akan dipindahkan ke atas brankar bus putih itu. Wajahnya pucat pasi, meski kulitnya masih terasa hangat saat kusentuh. Hanya jeritan yang kulakukan saat itu, merapalkan doa tidak terlintas dibenakku. Aku menepuk kedua pipi tirusnya, meski petugas berpakaian putih terus meleraiku, tapi aku tidak berhenti. Aku memanggil Bobiku sekuat mungkin. Tidak ada yang bisa mengambilnya dariku bahkan, Dewa sekalipun! “Ayah, kumohon!

            “Mera, Mera, sadarlah!”       

            Suara berat Alga memenuhi alam sadarku. Kulihat wajahnya dipenuhi rasa khawatir. “Kau, baik-baik saja?” Tanyanya lembut. Aku hanya tersenyum membalasnya. Pikiranku masih dipenuhi oleh kebingungan. “Kau, bermimpi buruk, lagi?” Tanyanya lagi. Kali ini aku mengangguk, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Alga duduk disampingku, kemudian menatap lekat tangan kiriku. Dia menunduk lesu membiarkan tiap helai rambutnya dipermainkan angin malam yang masuk sesuka hati melalui jendela kamar yang terbuka lebar. Sesaatnya, Alga mengukir senyum. Namun, senyuman itu terlihat pahit ditengah air mukanya yang masam.

            Aku melupakan takdir ini. Takdir yang sedari awal ingin kuceritakan pada kalian. Alga, seseorang yang berhasil membuatku terlepas dari jeratan ingatan buruk tentang Bobiku. Dia 0rang yang memberiku warna baru dari gelapnya masa lalu. Dia manusia kedua yang membuatku ingin terus hidup dan berjuang saat itu. Semenjak kepergian Bobiku, aku dikirim ke rumah sahabatnya, Atma ke desa kecil di seberang kota. Di desa ini, aku bertemu Alga dan kembali mengenyam pendidikan, meski sembari bekerja untuk membantu keluarga Atma sebagai wujud rasa tahu diri.

            Pertemuanku dengan Alga sederhana. Kami tidak lebih dari dua anak muda yang dipertemukan karena lingkungan tempat tinggal dan pendidikan yang sama. Alga menjadi teman pertama bagiku di desa dan sekolah. Kami mulai mengakrabkan diri sejak kedatangannya ke rumah, untuk membagikan ikan hasil tangkapannya pada Atma. Saat itu dia minim bicara dan sulit mengutarakan perasaanya. Kerap kali, Alga hanya menjawab pertanyaanku dengan anggukan atau senyuman syadu yang baru kutemukan dari seorang yang asing. Meskipun demikian, sikapnya yang seperti itu hanya sementara. Seiring berjalannya waktu, sikap Alga mulai berubah sepenuhnya-dari yang minim bicara jadi banyak bertuturkata, kadang-kadang ia juga lebih banyak bicara dari padaku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun