Mohon tunggu...
Ali Soegiharto
Ali Soegiharto Mohon Tunggu... Insinyur - Menjelang Senja

warga bangsa Indonesia, bukan orang penting, lahir di DCI Jakarta, lewat setengah abad yang lalu, puluhan tahun hilir mudik di Jabodetabek, sedang cemas menanti waktu, kapan semua ini berakhir.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

@Warga DKI: Jadi Mau Kalian Apa?

11 Mei 2017   12:49 Diperbarui: 13 Mei 2017   09:05 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika pasangan JKW-Ahok terpilih menjadi pemimpin DKI, saya merasakan sebuah derap nyata perubahan. Gempitanya lebih terasa ketika Ahok menjabat sebagai PLT Gubernur DKI. Perubahan terjadi dan dapat dirasakan oleh warga DKI. Jalan-jalan diaspal hot-mix, "pasukan oranye"  yang senantiasa sibuk membuat lingkungan bersih dari sampah, dan lampu-lampu penerangan diganti dg LED yang cerah - dan ini hanya sebagian saja dari berbagai perubahan yang dapat dilihat dan dirasa oleh warga DKI. Belum lagi pola manajemen yang diterapkan sampai level kelurahan terlihat dan terasa bahwa telah terjadi wujud sebuah pelayanan dari pemerintah kepada warganya. Sebuah perubahan yang menggembirakan!

Konflik dengan beberapa pemangku kepentingan disertai tutur kata dan cara berkominkasinya yang tidak lazim memang menjadi sebuah catatan, namun beberapa warga DKI bahkan terindikasi berpendapat bahwa hal seperti itu diperlukan untuk sebuah perubahan ke arah Jakarta yang diidam-idamkan warganya. Bahkan asal keturunan dan keyakinan beliau malah menumbuhkan simpati dan menjadi latar sebuah latar belakang inspiratif dan menguatkan.

Selain itu sisi lain selama masa pemerintahan beliau memang diwarnai dengan hal-hal negatif lain seperti penggusuran. Sesuatu yang saya pribadi masih belum paham, kenapa penggusuran itu negatif. Padahal ada kompensasinya, dan padahal yang digusur adalah yang menguasai lahan PemProv secara tidak sah. Tapi itu yang saya baca dari berbagai berita di berbagai media.

Tetapi sosok Ahok memang juga sarat dengan berbagai teori konspirasi, yang saya tidak berani bahkan untuk memikirkannya, apalagi menuliskannya. Semoga cuma teori konspirasi.

Bagi sebagian warga DKI, sosok Ahok dipersepsi sebagai seorang pahlawan.  Belum lagi keberaniannya menghadapi birokrasi dan fenomena korupsi yang ada di lingkungan pemerintahan provinsi DKI. Sebuah sosok harapan seorang pemimpin dari sebuah kota metropolitan yang juga merupakan ibu kota negeri ini. Sesuatu yang bagi saya adalah too good to be true (Haree genee ada orang kayak gitooh?).

Sayangnya, serangkaian kalimat yang Ahok ucapkan di sebuah acara tentang ikan di kepulauan Seribu yang seolah remeh menjadi penyebab kejatuhan beliau. Sayangnya lagi, para pembisik di lingkaran beliau salah dalam analisa dan salah dalam memperkirakan dampaknya. Akibatnya mereka memberikan rekomendasi tindakan yang keliru. Belum lagi kegiatan kampanye relasi publik mereka dengan para "buzzer" di media sosial malah menjadi katalis dalam terjadinya polarisasi antara yang pro dan kontra. Perolehan suara dalam Pilkada putaran pertama kiranya cukup untuk memberikan gambaran tentang polarisasi ini.

Season ini berakhir dengan kekalahan Ahok-Djarot dalam Pilkada DKI dan vonis hakim 2-tahun untuk Ahok.

Saya diajari bahwa kalau sesuatu itu is too good to be true, mungkin memang sesuatu itu seperti itu.

Lantas apa?

Bagi penerus penyelenggaraan pemerintahan provinsi DKI, masa Ahok-Djarot cukup dapat menggambarkan keinginan warga DKI. Mau kami:  Jakarta hebat, layak dihuni, dan patut dibanggakan. Namun kami juga butuh wujud-wujud visual yang telah disajikan dan diperagakan oleh pendahulu anda: Kebersihan, ketertiban, layanan warga yang benar-benar layanan. Penuhi dan tunjukkan itu semua secara konsisten, maka sangat mungkin anda akan dicintai warga DKI yang tadinya tidak memilih anda, tanpa perlu kekhawatiran akan konflik sosial seperti yang sedang terjadi. Dalam konteks ini, "kemasan" juga sepenting produknya.

Akhirnya, suka atau tidak, kenyataanya Islam masih agama mayoritas warga DKI dan bahkan di negeri ini. Konsekuensi dari demokrasi adalah pilihan keseluruhan ditentukan oleh suara terbanyak. Segala gempita pemikiran progresif, modernisasi dan argumentasi logika yang membingungkan tentang konsep agama Islam belum cukup untuk dapat meluruhkan prinsip yang dipegang oleh mayoritas. Terlepas dari teori konspirasi yang berkembang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun