Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lagu Pilu si Mantan dan Cinta yang Pamrih

1 April 2018   12:00 Diperbarui: 1 April 2018   13:00 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilu. Pasti inilah yang dirasakan tiap orang yang ditinggal menikah oleh orang yang dikasihinya. Apalagi jikalau orang itu diundang menghadiri pesta pernikahan mantannya. Tak peduli lelaki atau wanita, pasti merasakan ada yang berderak di dadanya. Sebagian besar memilih tidak datang, sebagian lainnya menahan malu dan menelan pilu menghadiri undangan. Alasannya beragam. Yang menolak hadir pasti enggan menyaksikan pameran senyum bahagia, yang memaksa hadir barangkali ingin menikmati momen sakit hati sekaligus melihat pujaan hati untuk terakhir kalinya.

Panik. Kata itulah yang tepat untuk menggambarkan suasana hati pengantin. Betapa tidak, ia tidak tahu meski bersikap bagaimana. Terutama ihwal bagaimana perasaan pasangan sandingnya di pelaminan menyaksikan "mantan si yayang" datang dengan kepala tegak atau sebaliknya. Pasangannya juga panik entah harus berbuat apa. Enek ada, kesal pasti. Namun, mustahil membuat ulah yang bakal mengacaukan pesta.

Perih. Ya, pasti perih. Tentu saja cinta tak sampai selalu menyisakan perih. Apa lagi yang berkecamuk di benak saat melihat mantan kita akhirnya memilih bersanding dengan orang lain selain perih? Wajah pengantin yang bingung dan gamang, mimik tetamu undangan, perasaannya sendiri yang didera cemas tak berkesudahan, juga perasaan mantan calon mertua yang pernah akrab dan hangat. Bayangkan jikalau kita yang mengalaminya, bayangkan!

Cinta. Syahdan, inilah musabab peristiwanya. Tetapi, ini cinta yang merepotkan. Menyusahkan. Bahkan, menyiksa diri sendiri. Buat apa coba memaksa diri menghadiri pernikahan mantan. Apa tidak cukup pedih perih ditinggalkan? Apa belum telak pahit sakit dikhianati? Jangan-jangan lantaran tidak ada kepastian sehingga si mantan memilih yang lain. Eh, malah naik ke panggung dan menyanyi. Terungkaplah kata-kata yang mestinya ditelan sendiri.

Kamu pacaran denganku, tapi menikah dengan dia

Berjanji bertemu di pelaminan, nyatanya aku hanya jadi tamu undangan

Dulu aku kau panggil sayang, sekarang aku kau panggil mantan

Berjanji untuk sehidup semati, nyatanya aku hidup kamu yang mati. 

Sakit. Memang yang paling berpeluang membahagiakan kita adalah orang yang mengaku mencintai kita. Begitu petuah Naguib Mahfouzh, seorang sastrawan ternama. Namun, orang yang mencintai kita pulalah yang paling mungkin menyakiti kita. Begitu imbuh sastrawan asal Mesir itu. Dan, itulah yang dialami oleh si penyanyi--mantan yang ditanggalkan dan ditinggalkan. Sesuatu yang bisa menimpa siapa saja, tapi rasanya menyanyi di pesta pernikahan mantan sungguh cara balas dendam yang tidak elegan. Alih-alih iba hati, beberapa tamu malah mencibir karena lagu itu.

Murni. Andaikan kita berasumsi bahwa balas dendam akibat cinta tertolak sebagai musabab peristiwa tersebut, maka si penyanyi kemungkinan keliru memahami esensi cinta. Pada cinta,  kebahagiaan yang dicintai adalah muara yang paling dituju. Ditolak, tak apa. Cinta sejati niscaya bisa merelakan. Cinta murni pasti mampu mengikhlaskan.

Tafakur. Mestinya inilah yang dilakukan oleh siapa saja yang ditolak cintanya. Cinta bukan pekerjaan batin yang harus pamrih, bukan. Cinta bukanlah sebentuk proyek hati imbal jasa. Petik hikmahnya. Mungkin Tuhan sedang merencanakan nasib lain yang tidak kita ketahui. Tegarlah. Bukan malah menghujani yang menolak cinta kita dengan lagu pengingat masa lalu. Itu namanya cinta pada diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun