Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Semut dan Fobia Takut Gagal

2 Agustus 2024   21:50 Diperbarui: 3 Agustus 2024   23:01 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apakah ada orang yang fobia pada kegagalan? (Gambar: Unsplash/Gadiel Lazcano)

/1/

Ketika kamu merasa cemas bakal sulit diterima di perusahaan gede, apalagi sainganmu bejibun, dan nyalimu langsung ciut. Kamu merasa sesak napas, tengkukmu berkeringat dingin, dan kemeja di bagian punggungmu berasa lengket ke kulit, lalu hatimu dirundung cemas akan "sia-sia saja wawancara, tidak bakal diterima".

Saat itu, kamu berada di fase yang sangat berat. Kamu takut mengambil risiko. Kamu takut menghadapi kegagalan. Kamu mengatakan "masa bodoh" pada petuah "kegagalan adalah awal dari keberhasilan", sebab kamu sudah kerap gagal dan belum pernah satu kali pun berhasil.

Jangan merasa sendirian, Kawan. Di luar sana, banyak orang yang seperti kamu. Takut mengambil risiko, tidak berani keluar dari zona nyaman, cemas memulai sesuatu, dan khawatir apa yang mereka lakukan berakhir pada "kegagalan".

Jika rasa taku pada kegagalan itu sudah memuncak, akan muncullah atikifobia.

/2/

Satu peribahasa menyatakan, "Ada gula, ada semut". Maknanya, "tempat yang makmur dan memikat pasti akan selalu didatangi orang yang ingin mencoba peruntungan".

Russell Jones, dalam bukunya Loan-words in Indonesia and Malay (2008), menyatakan bahwa kata gula kita serap dari bahasa Sanskerta. Dalam peribahasa ini, gula berarti "bahan pemanis, biasanya berbentuk kristal kecil yang terbuat dari air tebu, aren, nyiur, atau lontar". Adapun kata semut berarti "serangga kecil yang berjalan merayap, hidup bergerombol, termasuk suku Formicidae". 

Saya sering bereksperimen. Gula yang saya gunakan untuk teh atau kopi akan saya cairkan dulu. Orang Melayu Makassar kerap menyebutnya air gula. Biasanya juga disebut gula derawa. Air gula itu saya teteskan ke tepi cangkir. Lalu, cangkir itu saya taruh di atas meja.

Tidak lama berselang, semut api datang. Ia berputar-putar di atas meja. Sekali waktu menabrak tembok. Oleng, bergeser sedikit lalu mendekati cangkir. Dalam beberapa jenak, semut api itu sudah memanjati cangkir. Ritual cicip-mencicip pun terjadi. Saya biarkan senyap merayap, lalu terus memelototi semut api.

Entah apakah yang dicari sudah bersua, entah semut api itu kecewa karena tiada gula kristal, dia pergi meninggalkan saya dan senyap. Saya menghela napas. Jari-jemari kembali menari di atas laptop. Larut dalam tulisan, lupa pada sekitar. Baru tersadar akan gula dan semut ketika beberapa ekor semut berkeliaran di monitor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun