Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Melihat 2 Manfaat Menulis bagi Kesehatan Mental

12 Februari 2023   11:07 Diperbarui: 14 Februari 2023   07:26 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis untuk kesehatan mental (Gambar: Unsplash/Marcos Paulo Prado)

DULU, saya mudah sakit hati. Sedikit-sedikit tersinggung. Sedikit-sedikit mangkel. Kata anak muda zaman sekarang, baperan. Sekarang, tidak lagi. Jikalau ada sesuatu yang bisa memantik sakit hati, saya langsung menulis. Ajaib. Sakit hati itu sontak sirna.

Pernah pula saya marah sekali kepada seseorang. Tidak usah saya sebut namanya di sini. Saking kesalnya, saya menghindari bertemu dengan orang itu. Lalu, saya bikin novel. Orang itu saya jadikan tokoh antagonis. Dalam cerita, orang itu saya permak habis-habisan. Ajaib. Rasa kesal saya kontan sirna.

Sejak itu saya percaya, menulis dapat meningkatkan kesehatan mental. Sejak itu pula saya rajin mencari cara bagaimana semestinya menulis agar mental saya selalu sehat dan bugar.

Semasa bocah hingga remaja, saya menderita penyakit. Kanker darah. Belum ada kemoterapi kala itu. Pengobatan yang saya jalani lumayan menyiksa. Namun, saya punya teman berbicara yang meringankan beban hati. Diari, namanya.

Gara-gara kebiasaan bercengkerama dengan diari, saya yakin, tidak harus menjadi penulis profesional apabila saya ingin menyehatkan mental. Cukup buka diari, ambil pulpen, dan saya biarkan kecemasan tumpah ke dalam diari. Selesai.

Menjelang dewasa, setamat sekolah menengah, saya kerap menghabiskan waktu selama berjam-jam sendirian. Hanya ada mesin tik dan berim-rim kertas. Hanya ada bunyi ketak-ketuk mesin tik.

Kala itu saya bercita-cita ingin menjadi penulis profesional. Puisi dan cerpen saya kirim ke koran-koran. Alhamdulillah. Penolakan demi penolakan datang silih berganti. Kecewa? Ya. Namun, kecewa itu saya obati dengan kembali menulis.

Penolakan berulang justru menggelorakan semangat alih-alih memadamkan gairah menulis. Mula-mula opini dimuat di koran, lalu puisi, lalu cerpen. Upahnya tidak seberapa. Malah ada koran yang honornya tidak cukup untuk menebus satu rim kertas. Apakah saya kecewa? Tidak. Saya bahagia.

Sejak awal, tujuan saya menulis adalah untuk menyehatkan mental. Dapat honor, seberapa pun itu, ibarat bonus saja. Dari sana saya tahu, setidaknya ada dua faedah menulis bagi kesehatan mental saya.

Ilustrasi menulis (Gambar: Shutterstock)
Ilustrasi menulis (Gambar: Shutterstock)

PERTAMA, mampu berpikir lebih jernih. Oh, ini anugerah indah dalam hidup. Kadang-kadang jika isi benak seperti benang basah yang kusut kasau, saya ambil laptop dan jemari saya biarkan bebas menari di atas papantik. Aih, otak segar.

Dengan menulis, otak saya seperti pekarangan lapang dengan udara segar dan menyegarkan. Saya merasa lebih mampu memproses pengalaman batin yang mencekik, tujuan hidup yang berantakan, dan kenikmatan kreatif muncul begitu saja.

Pada akhirnya, menulis mumpuni dalam memulihkan depresi dan mengatrol kepercayaan diri. Menulis mumpuni pula menjernihkan pikiran dan menemukan jalan keluar saat berada bahkan pada titik hidup paling buntu.

Ternyata menulis juga bisa menjadi centeng andalan yang membantu saya untuk menjaga pikiran supaya tetap tajam. Bagaimanapun, saya menyadari. Seiring bertambahnya usia, tabiat pelupa bisa datang tiba-tiba.

Maka dari itu, saya menulis. Saya sebut menulis sebagai latihan kognitif yang menjaga agar serat-serat otak saya tidak kendor atau putus. Jadi, seperti tutur Bill Gates, menulis sekaligus agar otot otak terus bugar.

Ilustrasi menulis (Gambar: Unsplash/Agence Olloweb)
Ilustrasi menulis (Gambar: Unsplash/Agence Olloweb)

KEDUA, menata ledakan emosi. Menulis tentang 'bagian menyakitkan dalam hidup' cukup kompeten untuk merawat kesehatan mental saya. Selain waktu terbatas untuk menyambangi psikiater, uang saya juga tidak cukup untuk membayar upah konsultasi.

Jadilah saya pilih "jalan ninja" yang ditunjukkan oleh Ernest Hemingway. Kata Hemingway, penulis harus mampu "menulis dengan keras dan jelas tentang apa yang menyakiti hatinya".

Ya. Memendam amarah sangat tidak sehat. Tiap saat bisa meledak seperti bom waktu. Maka saya pilih menulis. Mudah dan murah. Menulis seperti yang disebut oleh psikolog sebagai tulisan ekspresif.

Saya menulis tentang peristiwa traumatis, yang memicu stres, atau yang meledakkan emosi. Penelitian menunjukkan bahwa menulis ekspresif dapat meningkatkan kesehatan fisis dan psikologis.

Dalam studi tipikal, mereka yang menulis tentang trauma pribadi berdampak langsung pada tekanan dan suasana hati negatif. Dalam jangka panjang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menjaga stabilitas tekanan darah , dan sedikit menjauh dari gejala depresi.

Ilustraasi menulis (Gambar: iStock)
Ilustraasi menulis (Gambar: iStock)

MAKA dari itu, menulislah. Tulis apa saja. Lakukan secara rutin. Kalau belum bisa satu tulisan dalam satu hari, setidaknya satu tulisan dalam dua hari. Atau, seberapa pun yang mampu Anda tulis. Asalkan, menulis secara rutin.

Kata kuncinya: menulislah secara rutin agar mental Anda sehat. Itu saja. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun